Minggu, 06 Desember 2009

BUDIDAYA HUTAN 2

MAKALAH


DISUSUN DALAM RANGKA TUGAS MATA KULIAH
BUDIDAYA





Masyarakat hutan merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh, juga merupakan masyarakat yang dinamis, yang terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-¬tumbuhan. Tahap tersebut antara lain adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan serta reaksi terhadap tempat tumbuh serta stabilisasi. Proses inilah yang disebut suksesi. Suksesi ini merupakan hasil dari tumbuhan itu sendiri, dalam arti bahwa tumbuhan yang berada dalam daerah tersebut suatu saat mampu mengubah lingkungannya, seperti tanah, tumbuhan dan iklim mikro di atasnya. Hal ini akan membuat spesies lebih mudah menyesuaikan diri daripada tumbuhan itu sendiri. Suatu masyarakat hutan akan mengalami perkembangan dan proses penuaan yang terjadinya dipengaruhi faktor-faktor tempat tumbuh dan reaksi dari vegetasi terhadap tempat tumbuh tersebut. Proses perkembangan masyarakat hutan inilah dinamakan suksesi hutan.
Suksesi primer terjadi apabila masyarakat asal terganggu. Gangguan ini mengakibatkan hilangnya masyarakat asal tersebut secara total. Kemudian di tempat itu akan muncul atau terbentuk habitat baru, yang tidak mampu membentuk masyarakat asal lagi. Dengan demikian, yang dimaksud dengan suksesi primer adalah perkembangan vegetasi, mulai dari habitat yang tidak bervegetasi serta mampu melewati tahapannya tanpa gangguan dari luar, sampai padsa masyarakat yang stabil atau klimaks. Suksesi primer ini terbagi lagi menjadi 2 jenis, yakni suksesi yang berawal dari habitat kering, yang disebut suksesi xerark, dan suksesi yang berawal dari daerah basah (air tergenang) yang disebut suksesi hidrark.


2. DEFINISI HUTAN SEKUNDER
Hutan sekunder adalah fase pertumbuhan hutan dari keadaan tapak gundul, karena alam ataupun antropogen, sampai menjadi klimaks kembali. Tidak benar bahwa hutan sekunder tidak alami lagi, yang benar istilahnya adalah “Hutan Alam Sekunder” untuk membedakannya dari hutan alam primer
Sifat-sifat hutan sekunder :
• Komposisi dan struktur tidak saja tergantung tapak namun juga tergantung pada umur.
• Tegakan muda berkomposisi dan struktur lebih seragam dibandingkan hutan aslinya.
• Tak berisi jenis niagawi. Jenis-jenis yang lunak dan ringan, tidak awet, kurus, tidak laku.
• Persaingan ruangan dan sinar yang intensif sering membuat batang bengkok. Jenis-jenis cepat gerowong.
• Riap awal besar, lambat laun mengecil.
• Karena struktur, komposisi dan riapnya tidak akan pernah stabil, sulit merencanakan pemasaran hasilnya.


3. TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN SUKSESI SEKUNDER
 • Fase Permulaan
Setelah penggundulan hutan, dengan sendirinya hampir tidak ada biomasa yang tersisa yang mampu beregenerasi. Tetapi, tumbuhan herba dan semak-semak muncul dengan cepat dan menempati tanah yang gundul.
 • Fase Awal/Muda
Kurang dari satu tahun, tumbuhan herba dan semak-semak digantikan oleh jenis-jenis pohon pionir awal yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: pertumbuhan tinggi yang cepat, kerapatan kayu yang rendah, pertumbuhan cabang sedikit, daun-daun berukuran besar yang sederhana, relatif muda/cepat mulai berbunga, memproduksi banyak benih-benih dorman ukuran kecil yang disebarkan oleh burung-burung, tikus atau angin, masa hidup yang pendek (7- 25 tahun), berkecambah pada intensitas cahaya tinggi, dan daerah penyebaran yang luas. Kebutuhan cahaya yang tinggi menyebabkan bahwa tingkat kematian pohon-pohon pionir awal pada fase ini sangat tinggi, dan pohon-pohon tumbuh dengan umur yang kurang lebih sama. Walaupun tegakan yang tumbuh didominasi oleh jenis-jenis pionir, namun pada tegakan tersebut juga dijumpai beberapa jenis pohon dari fase yang berikutnya, yang akan tetapi segera digantikan/ditutupi oleh pionir-pionir awal yang cepat tumbuh. Proses-proses biologi akan berjalan lebih lambat setelah sekitar 20 tahun.Ciri-ciri ini adalah permulaan dari fase ketiga (fase dewasa).
 Fase Dewasa
Setelah pohon-pohon pionir awal mencapai tinggi maksimumnya, mereka akan mati satu per satu dan secara berangsur-angsur digantikan oleh pionir-pionir akhir yang juga akan membentuk lapisan pohon yang homogen (Finegan 1992). Secara garis besar, karakteristik-karakteristik pionir-pionir akhir yang relatif beragam dapat dirangkum sebagai berikut: Walaupun sewaktu muda mereka sangat menyerupai pionir-pionir awal, pionir-pionir akhir lebih tinggi, hidup lebih lama (50-100 tahun), dan sering mempunyai kayu yang lebih padat. Pionir-pionir akhir menggugurkan daun dan memiliki biji/benih yang disebarkan oleh angin, yang seringkali dorman di tanah dalam periode waktu yang sangat lama. Dalam akhir fase, akumulasi biomasa berangsur-angsur mengecil secara kontinyu.
 Fase klimaks
Pionir-pionir akhir mati satu per satu setelah sekitar 100 tahun (Liebermann & Liebermann 1987) dan berangsur-angsur digantikan oleh jenis-jenis tahan naungan yang telah tumbuh dibawah tajuk pionir-pionir akhir. Jenis-jenis ini adalah jenis-jenis pohon klimaks dari hutan primer, yang dapat menunjukkan ciri-ciri yang berbeda. Termasuk dalam jenis-jenis ini adalah jenis-jenis kayu tropik komersil yang bernilai tinggi dan banyak jenis lainnya yang tidak (belum) memiliki nilai komersil. Perlahan-lahan suatu kondisi keseimbangan yang stabil (steady-state) mulai terbentuk, dimana tanaman-tanaman yang mati secara terus menerus digantikan oleh tanaman (permudaan) yang baru.

4. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBENTUKAN
HUTAN SEKUNDER
4.1. FAKTOR-FAKTOR EKOLOGI
 Kondisi-kondisi tapak
Formasi hutan (vegetasi fase klimaks) yang dimasukkan dalam suatu zona iklim tertentu memberikan petunjuk mengenai ciri-ciri dari suatu hutan sekunder di masa yang akan datang, karena dalam jangka-waktu tertentu hutan sekunder ini akan berkembang kearah vegetasi klimaks -tentu saja apabila tidak ada sumberdaya genetik yang hilang. Setiap benua memperlihatkan adanya perbedaan-perbedaan didalam zona vegetasi yang sama, tergantung pada sejarah perkembangan mereka masing-masing.
Perbedaan-perbedaan iklim dalam suatu jalur vegetasi (misalnya temperatur dan curah hujan) juga mempengaruhi jalannya suksesi. Pada daerah-daerah yang tinggi (pegunungan) di kawasan tropika, fase pionir sama-sekali tidak terjadi dan areal-areal tersebut langsung dikolonisasi dengan jenis-jenis pohon klimaks. Faktor ekologi lainnya yang penting untuk suksesi adalah kesuburan tanah (Finegan 1992). Degradasi tanah yang terjadi dapat sedemikian beratnya akibat gangguan-gangguan manusia yang sangat kuat, sehingga proses penghutanan kembali secara alami dapat terhalangi selama beberapa dekade atau bahkan beberapa abad (Corlett 1995).
 Sumberdaya-sumberdaya permudaan/regenerasi
Disamping kondisi-kondisi abiotik yang mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan hutan sekunder juga tergantung pada komposisi dan kerapatan flora dan fauna yang berhubungan dengan regenerasi. Disini, hal-hal yang penting adalah vegetasi yang tersisa di areal hutan sekunder setelah adanya gangguan, seperti juga jarak dari hutan (misalnya hutan primer) yang (masih) ada. Kemampuan regenerasi alam yang ada (dalam bentuk coppice, tunas-tunas akar dan biji-biji/benih-benih yang berada di tanah) sangat mempengaruhi jalannya suksesi.
4.2. PENGARUH MANUSIA
 Pemanfaatan Kayu
Penebangan/pengambilan kayu memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap flora dan fauna, seperti juga halnya terhadap iklim mikro dan tanah. Fauna dipengaruhi secara tidak langsung dengan rusaknya habitat mereka dan secara langsung melalui perburuan. Besarnya pengaruh/akibat dari pembalakan tergantung pada intensitas dan frekwensinya. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin banyak pohon yang ditebang dan semakin luas areal yang diusahakan, maka semakin baik kondisi-kondisi untuk permudaan jenis-jenis pionir awal serta semakin kecil keragaman benih/bibit yang tersedia dan dengan demikian keragaman jenis yang ambil bagian dalam suksesi.
 Tebang Pilih
Pada kegiatan penebangan secara selektif (tebang-pilih) sebagian besar dari keanekaragaman jenis tidak menghilang. Gap-gap yang terjadi akibat penebangan biasanya ditutupi oleh pertumbuhan pohon-pohon disekitarnya. Meskipun demikian, tebang-pilih juga dapat mengakibatkan pemiskinan jenis sampai punahnya satu atau lebih jenis pohon di suatu wilayah. Hal ini terutama terjadi di daerah-daerah dimana jenis-jenis pohon klimaks dengan biji yang berat mempunyai kerapatan yang rendah, atau dimana potensi rekolonisasi tidak ada akibat penggundulan daerah-daerah disekitarnya. Karena pada sistem tebang-pilih hampir semua jenis pohon komersil ditebang, maka potensi ‘ekonomi’ hutan menjadi sangat berkurang dengan semakin sedikitnya keanekaragaman jenis pohon yang masih tersisa. Tebang-pilih juga sangat melindungi struktur tanah dan ketersediaan unsur hara,yang dengan demikian memungkinkan terjadinya rekolonisasi secara cepat (Corlett 1994). Jika tebang-pilih dilakukan di sebuah hutan berulang-kali dalam jangka-waktu yang panjang, maka proporsi jenis-jenis pohon komersil akan berkurang, unsur-unsur hara akan menipis, dan tegakan tersebut akan semakin terbuka. Tebang Habis
Dalam sistem tebang-habis, seluruh jenis pohon yang ada ditebang. Struktur tanah dan unsur-unsur hara yang ada dirusak sedemikian rupa sehingga rekolonisasi areal tersebut didominasi oleh jenis-jenis yang berasal dari luar areal tersebut (Corlett 1994). Dalam keadaan seperti ini, ketersediaan, penyebaran dan frekwensi jenis-jenis potensil sangat menentukan proses suksesi yang terjadi.
Sebagai akibat dari eliminasi vegetasi secara total dalam skala besar melalui kegiatan tebang-habis, maka hutan-hutan sekunder yang tumbuh setelah itu pada umumnya miskin akan jenis dan seringkali tidak mempunyai jenis-jenis pohon yang berasal dari komunitas pohon klimaks. Pada tanah-tanah yang padat, rekolonisasi memakan waktu yang lebih lama. Perbedaan antara tebang-pilih dan tebang-habis menjadi semakin tidak jelas apabila hutan-hutan tersebut semakin sering ditebang atau tidak ditebang seluruhnya dalam sistem tebang-habis. Setiap batang pohon yang ditinggalkan mempunyai efek yang positif terhadap kecepatan rekolonisasi dan komposisi jenis dari hutan yang baru (Fedlmeier 1996).
 Kebakaran
Kebakaran yang biasa terjadi di daerah-daerah dengan periode kering yang jelas memperbesar dampak-dampak dari tebang-habis seperti yang dipaparkan di atas. Kebakaran yang terjadi berulang-kali bahkan dapat menyebabkan degradasi secara permanen dengan memusnahkan kemampuan akar dan batang untuk bertunas serta kemampuan benih-benih jenis-jenis pohon pionir yang berada di tanah untuk berkecambah. Peningkatan persediaan unsur-unsur hara yang terjadi setelah adanya kebakaran dapat berlangsung sampai 3 tahun lamanya.
 Pertanian
Tebang pilih, tebang habis dan/atau kebakaran seringkali merupakan peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum dilakukannya pemanfaatan lahan untuk pertanian. Karena itu, seluruh dampak/efek yang telah dijelaskan di atas juga berlaku untuk pemanfaatan lahan untuk pertanian. Budidaya pertanian skala kecil saja sudah dapat sangat mengurangi potensi permudaan melalui pemusnahan tanaman-tanaman muda yang ada dan penurunan kemampuan untuk bertunas dari batang-batang yang ada (coppice) (Corlett 1995). Oleh sebab itu, rekolonisasi areal tersebut tergantung sepenuhnya dari vegetasi yang berada disekitarnya. Didalam ruang-lingkup sistem-sistem tradisional perladangan berpindah, komposisi jenis dari hutan-hutan yang kemudian berkembang sangat dipengaruhi oleh tindakan-tindakan yang dilakukan, yaitu mulai dari penanaman pohon-pohon buah berumur panjang sampai pada pengmebangan komunitas-komunitas suksesi secara buatan. Degradasi ini sangat memperlambat jalannya suksesi. Di daerah-daerah tropik, pemanfaatan lahan untuk pertanian dalam jangka waktu lebih dari 5 tahun menyebabkan degradasi lahan yang berat.
 Peternakan/penggembalaan di padang rumput
Padang rumput selalu ditinggalkan bila kondisi-kondisi yang ada tidak lagi menunjang kegiatan penggembalaan. Kedalam kondisi-kondisi ini termasuk pengambilan kembali hak-hak penggunaan lahan, masalah-masalah yang menyangkut kesehatan ternak, serta keterbatasan ekonomi yang menyebabkan peternakan tidak menguntungkan lagi dan menurunnya kesuburan tanah. Potensi permudaan yang masih ada (setelah tebang-habis) untuk berkecambah bertahan lebih lama apabila lahan tersebut digunakan untuk penggembalaan ternak dibandingkan dengan apabila lahan tersebut digunakan untuk budidaya tanaman pertanian. Selain itu, setelah digunakan untuk penggembalaan lahan, tersebut memiliki lebih banyak bahan organik dibandingkan dengan, contohnya, setelah digunakan sebagai perkebunan kopi. Dilain pihak, padang rumput di dataran-dataran rendah tropik basah dan tropik beriklim sedang kebanyakan akan menghilang, kecuali apabila terjadi kebakaran secara periodik (Goldammer 1995).









5. KONDISI HUTAN SEKUNDER DI INDONESIA
Pemanfaatan terus-menerus sumberdaya alam dari hutan-hutan primer dan sekunder dilakukan melalui :
a) Pemanfaatan kayu: melalui pembukaan tajuk dan meningkatnya pertumbuhan semak belukar, kegiatan ini menyebabkan terbentuknya hutan sekunder yang lebih rendah daya tahannya terhadap api apabila dibandingkan dengan hutan-hutan primer.
b) Perladangan berpindah: pembangunan jalan dan proyek transmigrasi menyebabkan meningkatnya kegiatan perladangan berpindah.
c) Konversi lahan menjadi areal perkebunan meningkatkan bahaya kebakaran.
Berkembangnya hutan-hutan sekunder setelah kebakaran mempunyai berbagai konsekuensi terhadap fungsi-fungsi ekonomi dan perlindungan (hutan):
 menurunnya tingkat kesuburan tanah;
 meningkatnya erosi tanah;
 menurunnya kapasitas infiltrasi air;
 menurunnya hasil-hasil panen yang disebabkan oleh serangan / gangguan binatang (burung-burung, babi hutan, dan monyet), yang tidak mendapatkan makanannya lagi dalam jumlah yang cukup di hutan-hutan sekunder;
 membaiknya kondisi-kondisi untuk kegiatan perburuan pada tahun-tahun pertama setelah kebakaran hutan;
 berkurangnya kemungkinan-kemungkinan pengambilan produk-produk non-kayu (misalnya: rotan, damar);
 berkurangnya pemanfaatan jenis-jenis pohon komersil; Kegiatan pemanfaatan kayu dipusatkan pada daerah-daerah yang tidak atau mengalami kerusakan ringan akibat kebakaran hutan;
Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa komposisi dan jenis spesies tidak bisa menyamai bentuk aslinya, seperti apa yang dikemukakan oleh Gradwohl dan Greenberg (1988):
• Penebangan dan pembakaran kemungkinan akan melepaskan zat hara ke dalam tanah tropik yang miskin, yang kemudian diluruhkan dengan adanya hujan tropik yang hangat.
• Rumitnya proses regenerasi, seperti pengaruh iklim mikro terhadap semaian pohon hutan asli, di mana suksesi awal dimulai dari spesies jenis pendatang.
• Biji hutan tropika sering disebarkan oleh hewan yang adakalanya sangat sedikit jumlahnya, sehingga sumber biji harus berada di dekat daerah tebangan. Pohon sangat memerlukan adanya hubungan simbiosis khusus dengan jamur yang dikenal sebagai mikorhiza.
• Terdapatnya kumpulan biji yang belum berkecambah di tanah tropik yang dikenal sebagai "bank benih".
• Rerumputan dan semak yang kaku, berduri dan tahan api, menjadi subur setelah proses pembakaran dan perumputan yang lama. Tumbuh-tumbuhan ini dapat menghambat pertumbuhan hutan


6. PENUTUP
Hutan sekunder dapat kembali mencapai klimaks tergantung seberapa besar pengaruh diterimanya dari faktor ekologi dan faktor manusia. Kerusakan dapat lebih parah, apabila keadaan tanah dan air yang terganggu sehingga klimaks asal tidak mungkin dapat dicapai lagi. Dengan demikian, terbentuklah apa yang dinamakan disklimaks. Vegetasi yang mengalami gangguan karena kebakaran terus-menerus akan didominasi oleh adanya pertumbuhan alang-alang (Imperata cylindrica).

Penyakit Hutan

Pendahuluan.
Ilmu Penyakit Hutan (Forest Pathology) ialah ilmu yang mempelajari tentang faktor biotik dan abiotik yang dapat menyebabkan sakit pada tanaman/tumbuhan hutan dan hasil hutan sehingga timbul kerugian.
Penyakit adalah suatu proses atau akibat dari suatu penyebab penyakit (patogen). Jadi pernyataan “diserang penyakit” adalah tidak benar, seharusnya “diserang patogen, diserang jamur, diserang hama” dsb.
Penyebab penyakit hutan (patogen) terdiri atas: faktor biotik mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, mikoplasma, spiroplasma, riketsia, nematoda) dan makroorganisme (kutu, bekicot, cacing, larva, serangga, kumbang, satwa mamalia, manusia) serta faktor abiotik (cuaca, tanah, api, bahan kimia).
Gejala serangan (symptom): perubahan proses fisiologis dan sifat morfologis dari normal menjadi tidak normal pada tumbuhan.
Tanda serangan (sign): semua faktor penyebab penyakit (patogen), baik faktor biotik maupun abiotik.
Macam gejala penyakit:
a. Gejala nekrotik: gejala yang timbul karena kerusakan atau kematian sel.
Contoh:
1. Nekrosis (necrosis): kematian sekumpulan sel
2. Hawar (blight): kematian sekumpulan sel yang lebih luas daripada nekrosis
3. Kanker (canker): kematian sekumpulan sel pada bagian yang berkayu
4. Lodoh (damping off): kematian sekumpulan sel pada benih dan semai
5. Mati pucuk (dieback): kematian sekumpulan sel dimulai dari pucuk
6. Busuk (rot, decay): kematian sekumpulan sel pd bgn yg bnyk mengandung air
7. Terbakar matahari (sun scald): kematian sekumpulan sel akibat sinar mata hari
8. Terbakar bukan oleh sinar matahari (scorch): kematian sekumpulan sel akibat api dan bahan kimia.

b. Gejala atrofi: gejala yang menunjukkan adanya pertumbuhan yang terhambat atau terhenti sama sekali karena proses pembelahan sel terganggu.
Contoh:
1. Kerdil (stunt): tanaman yang tingginya jauh di bawah tinggi yang normal
2. Klorosis (chlorosis): rusaknya klorofil atau daun tdk dpt membentuk klorofil
3. Etiolasi (etiolation): pucuk tanaman pucat
4. Roset (rosette): cabang2 berada dalam jarak yang rapat.

c. Gejala hipertrofi: gejala yang menunjukkan adanya pertumbuhan
yang melebihi dari ukuran normal yang disebabkan oleh proses
pembelahan sel yang tidak normal.
Contoh:
1. Menyapu (witches broom): percabangan yang berlebihan dan kecil2
2. Tumor (gall): pembengkakan bgn tbhan, baik yg berkayu maupun yg tidak
3. Resinosis: pengeluaran getah secara berlebihan pada bagian tumbuhan

Semua jenis tumbuhan dibagi menjadi 2 bagian besar:
a. Autofita (tumbuhan tingkat tinggi)
b. Heterofita (tumbuhan tingkat rendah

II. PENYAKIT HUTAN YANG DISEBABKAN OLEH
MAKROORGANISME (HAMA)

Ilmu Hama Hutan ialah ilmu yang mempelajari tentang binatang/hewan yang menimbulkan kerusakan yang berarti (merugikan) baik kualitas maupun kuantitas pada pohon atau tegakan hutan dan hasil hutan.
Bentuk kerusakan yang ditimbulkan oleh hama ialah:
1. Kerusakan langsung:
a. mematikan pohon.
b. merusak sebagian dari pohon.
c. menurunkan kualitas hasil hutan.
d. menurunkan pertumbuhan/riap pohon/tegakan.
e. merusak buah dan biji.
2. Kerusakan tidak langsung:
a. mengubah suksesi dan komposisi tegakan.
b. menurunkan umur tegakan.
c. menyediakan bahan bakar sehingga rentan terhadap kebakaran.
d. mengurangi nilai keindahan (estetika).
e. menyebabkan penyakit lain karena hama sebagai vektor patogen.
Berat ringannya serangan hama terhadap tegakan hutan tergantung dari: jenis pohon, kondisi lingkungan tempat tumbuh, kondisi pohon dan kepadatan populasi hama.
Gejala serangan hama daun adalah hilangnya sejumlah daun, daun berwarna coklat, daun menggulung, daun melipat, kematian cabang, kematian pucuk pohon dan kematian pohon.
Gejala serangan hama pucuk adalah berlubang-lubang pada cabang terminal dan lateral, mati pucuk, riap pohon menurun, menyapu (banyak percabangan) dan kematian pohon.
Gejala serangan hama kulit adalah hilangnya bagian kulit sebelah dalam dari batang pohon (phloem), kambium dan bagian luar kayu gubal, kulit pohon berlubang-lubang dan mengeluarkan getah; bila serangan menggelang batang, maka pohon akan mati karena aliran makanan dari daun ke akar terhenti.
Gejala serangan hama batang adalah batang berlubang-lubang, keluar getah pada kulit batang, daun klorosis dan rontok, pohon mati. Serangga memanfaatkan kayu dan tertarik dengan pohon yang sedang mengalami proses kematian dan baru ditebang karena pada pohon-pohon demikian ini terjadi proses fermentasi yang dapat menghasilkan aroma alkohol.
Gejala serangan hama akar adalah akar berbintil-bintil atau bengkak-bengkak, kulit akar dan atau bagian yang berkayu berlubang-lubang, rusaknya kambium akar yang dapat menghambat aliran bahan makanan, sehingga pohon dapat turun riapnya, mudah tumbang dan mati.


III. PENYAKIT HUTAN YANG DISEBABKAN OLEH MIKROORGANISME
A. Penyakit Daun
Gejala penyakit embun tepung (powdery mildew) adalah pucuk dan daun yang terserang berombak/ mengeriting, berwarna pucat, klorosis dan daun kemudian rontok. Bibit yang terserang pertumbuhannya terhambat (kerdil).
Gejala penyakit karat daun (rust) / tumor karat (gall rust) adalah daun, tunas dan pucuk yang terserang berbintil-bintil warna abu-abu sampai coklat, berombak/ mengeriting, pucat dan daun kemudian rontok. Terjadi pada semai dan pohon yang mengakibatkan pertumbuhan terhambat.
Gejala penyakit bercak daun (leaf spot) adalah daun bercak-bercak berwarna coklat, kadang daun tetap hijau kadang menjadi klorosis dan rontok, pertumbuhan tanaman terhambat
B. Penyakit batang dan akar
Gejala penyakit damping off (lodoh) adalah benih busuk, semai mati/rebah yang mana akar dan pangkal batangnya busuk.
Gejala penyakit merah muda (pink disease) adalah nekrosis pada kulit batang pohon, tumbuh kallus pada pinggir nekrosis sehingga membentuk kanker, kulit pohon pecah-pecah dan mengelupas, kadang-kadang keluar getah dari tempat timbulnya nekrosis atau di sekitarnya, di bawah tempat infeksi tumbuh tunas-tunas air (epicormic branches) dan akhirnya pohon mati.
Gejala penyakit penyakit kanker batang (stem canker) adalah nekrosis pada kulit batang pohon, tumbuh kallus pada pinggir nekrosis sehingga membentuk kanker, kulit pohon pecah-pecah dan mengelupas, kadang-kadang keluar getah dari tempat timbulnya nekrosis atau di sekitarnya, kayunya lapuk dan batang pohon bisa patah.
Gejala penyakit tumor (gall) adalah bintil-bintil atau bengkak pada bagian tumbuhan yang berkayu atau yang tidak berkayu.
Gejala penyakit busuk akar (root rot) adalah daun layu, daun berwarna pucat, menguning dan akhirnya berwarna coklat dan pohonnya mati.
Tumbuhan heterofita terdiri atas: parasit dan saprofit
Parasit terdiri atas:
a. Parasit obligat ialah organisme yang hidupnya selalu tergantung dari inangnya, sehingga tidak dapat hidup tanpa inang yang hidup. Contoh: virus, jamur tepung (powdery mildew), jamur karat (rust).
b. Parasit fakultatif ialah organisme yang biasanya hidup sebagai saprofit, tetapi dapat menjadi parasit bila mendapatkan inang yang sesuai. Contoh: Fusarium, Acremonium, bakteri.
Saprofit terdiri atas:
a. Saprofit obligat ialah organisme yang hidupnya hanya menyerap makanan dari bahan organik yang telah mati. Contoh: jamur kuping (Auricularia auricula), jamur merang (Volvariella volvacea).
b. Saprofit fakultatif ialah organisme yang biasanya hidup sebagai parasit tetapi dapat hidup menjadi saprofit bila terpaksa. Contoh: Corticium salmonicolor, Ganoderma applanatum, Fomes annosus.


IV. KERUGIAN AKIBAT PENYAKIT
Persentase kerusakan tahunan dari pasokan kayu gergajian 43,8 juta kubik feet akibat berbagai faktor di USA (data tahun 1952
Faktor perusak Penurunan riap tumbuh (%) Mati (%) Jumlah (%)
Mikroorganisme
Makroorganisme (hama)
Api
Cuaca
Lainnya 40
8
15
1
7 5
11
2
8
3 45
19
17
9
10
Jumlah 71 29 100
Kerugian dalam bentuk tanaman:
a. Kegagalan benih untuk berkecambah
b. Kegagalan bibit di persemaian
c. Kegagalan bibit di pertanaman
d. Kegagalan panen
Faktor-faktor yang menentukan besar kerugian dalam bentuk uang:
a. Jenis tanaman yang ditanam
b. Jenis patogen yang menyerang
c. Organ atau bagian tanaman yang terserang
d. Frekuensi serangan (jumlah tanaman yang terserang)
e. Intensitas serangan (berat ringannya serangan)
f. Umur tanaman
g. Lokasi tanaman
h. Bentuk lahan yang ditanami
i. Cara penyiapan lahan
j. Mutu benih dan cara produksi bibit
k. Intensitas pemeliharaan, cara pemeliharaan, perbaikan kesuburan tanah
Perkiraan kerugian dalam bentuk uang untuk unit HTI seluas 30.000 ha, rotasi 10 tahun, jarak tanam 2x3 m, kegagalan akibat penyakit 10% (Hadi, 1991)
a. Kehilangan benih
Untuk jenis yang berjumlah 30.000 benih/kg, maka setiap tahun diperlukan 3.000 ha : 30.000 benih = ±160 kg. Bila harga benih Rp200.000/kg, maka biaya pembelian benih = Rp32 juta. Kerugian setiap tahun karena kerusakan benih = 10% x Rp32 juta = Rp 3,2 juta
b. Kehilangan bibit di persemaian
Bibit yang diperlukan = 30.000.000 m2 : 6 m2 = 4.800.000 bibit/thn
Bila 10% tidak dapat ditanam karena sakit/rusak, maka kerugian =
10% x 4.800.000 bibit x Rp11 = Rp5,2 juta/thn
c. Kerugian dalam penyiapan lahan dan penanaman
Secara manual: 10% x 3.000 ha x Rp348.900 = Rp104,7 juta/thn
Secara mekanis: 10% x 3.000 ha x Rp671.700 = Rp201,5 juta/thn
d. Kehilangan bibit di pertanaman
Pada akhir tahun ketiga: Rp 1,8 juta (perencanaan) + Rp 104,7 juta (penyiapan lahan dan penanaman secara mnanual) + Rp80,6 juta (pemeliharaan selama 3 tahun pertama) = Rp187,1 juta

V. PERKEMBANGAN BENTUK CAMPUR TANGAN MANUSIA MENURUT WAKTU YANG BERPENGARUH TERHADAP
TIMBUL DAN BERKEMBANGNYA PENYAKIT HUTAN
Berdasarkan bentuk dan intensitasnya, bentuk campur tangan manusia terhadap hutan alam adalah sebagai berikut:
a. Sampai thn 1942: htn alam jati diubah menjadi htn tanaman, mahoni dan kesambi. Htn alam di lereng diganti dgn Agathis dammara, Pinus merkusii, Acacia decurrens, Di luar Jawa blm tersentuh.
b. Dari 1942-1945: htn jati dikelola lebih intensif utk keperluan perang, di luar Jawa terjadi perladangan berpindah dan penebangan pohon utk tempat tinggal sendiri.
c. Dari 1945-1960: penanaman jenis selain jati, yaitu Eucalyptus spp. Gmelina arborea, Acacia auriculiformis, Manilkara kauki dan Melaleuca leucadendron (M. cajeputi).
d. Dari 1960-1970: pembalakan htn secara mekanis, baik di tepi sungai maupun yang jauh. Keluar UU no 5/1967 ttg Ketentuan2 Pokok Kht, PP no 21/1970 ttg HPH dan HPHH.
e. Dari 1970-1984: SK Dirjen Kht no 35/Kpts/DD/I/1972 ttg Pedoman TPI, THP, THPA dan Pedoman2 pengawasannya.
f. Dari 1984-sekarang: pembangunan HTI monokultur. Target 6 juta ha pada tahun 2000 tidak tercapai.

VI. MASALAH SEKARANG DAN LANGKAH DI MASA DATANG
Masalah
a. Kerusakan htn yang ringan belum dianggap penting.
b. Lokasi htn yg menunjukkan gejala sakit jauh dari tempat lembaga yang memiliki petugas penelitian mengenai penyakit htn.
c. Keterbatasan dana penelitian.
d. Hasil penelitian diharapkan oleh pengelola htn cepat diperoleh agar dpt digunakan dalam pengelolaan htnnya, sementara itu penelitian yang bagus memerlukan waktu yang lama.
e. Peneliti lebih tertarik memilih lokasi dan objek yang mudah dijangkau seperti penyakit benih, mikoriza, semai di persemaian, sedangkan di pertanaman kurang diminati.
Langkah yang diharapkan di masa datang
a. Peningkatan jumlah tenaga peneliti dalam bidang penyakit hutan.
b. Pengembangan objek penelitian yang diikuti dengan penyediaan peralatan canggih.
c. Pemanfaatan dana dan sarana penelitian secara optimal.
d. Mempertimbangkan aspek penyakit dalam pengelolaan hutan.
e. Peningkatan jaringan informasi mengenai penyakit htn seperti publikasi, internet dll.




VII. GANGGUAN PENYAKIT PADA HUTAN DAN
MASALAH PERLINDUNGANNYA
Perkembangan Penyakit pada Hutan Alam yang Belum / Tidak Diusahakan
a. Terjadi suksesi sampai pada tingkat klimaks pada semua organisme.
b. Jenis pohon dan organisme (patogen dan non patogen) yang tdk dpt beradaptasi dengan lingkungan setempat tdk dpt bertahan hidup dan berkembang.
c. Terjadi keseimbangan ekosistem antara pohon dengan berbagai jenis organisme pada tingkat klimaks.
d. Terdapat pohon-pohon sakit atau mati yang tersebar secara sporadis.

Perkembangan Penyakit pada Hutan Alam yang Telah Diusahakan
a. Semula pemanfaatan hasil hanya dilakukan oleh pddk yang tinggal di sekitar htn, tetapi kemudian pemanfaatan hsl dilakukan secara besar-besaran, sehingga banyak pohon yang luka dan sakit.
b. Perkembangan penyakit sangat dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang tidak memperhatikan azas kelestarian, sehingga banyak pohon yang sakit pada tegakan tinggal.
c. Tegakan tinggal yang diharapkan dapat dipanen pada 35 tahun yang akan datang banyak yang luka kulit batangnya, sehingga terinfeksi oleh jamur pelapuk kayu teras (LPK).




Perkembangan Penyakit pada Hutan Tanaman
Beberapa kemungkinan mengapa penyakit lebih mudah berkembang di
hutan tanaman:
a. Tersedianya sumber makanan yang berlimpah bagi jenis-jenis patogen tertentu.
b. Masuknya patogen dari tempat lain karena terbawa melalui bahan tanaman.
c. Kerentanan jenis pohon eksot terhadap patogen lokal.
d. Kesesuaian kondisi lingkungan lokal untuk perkembangan patogen yang baru masuk.
e. Tersedianya makanan yang berlimpah untuk perkembangan inokulum (bahan penular)
f. Pemuliaan jenis patogen.

Strategi Perlindungan Hutan terhadap Penyakit
Hutan alam
a. Pengawasan secara ketat penebangan pohon serta penyaradan
batang agar pelaksanaannya dilakukan dengan hati-hati sehingga
pohon-pohon dalam tegakan tinggal sesedikit mungkin rusak.
b. Perawatan bagian yang luka pada batang dengan fungisida.
Hutan tanaman
a. Selain jenis eksot hendaknya lebih banyak dicoba jenis-jenis lokal
yang mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam pembangunan
HTI.
b. Menanam lebih dari satu jenis pohon dalam satu hamparan HTI dalam
bentuk campuran jenis atau dalam kumpulan blok-blok yang masing-
masing terdiri atas jenis pohon tertentu.
c. Penanaman sebanyak mungkin klon jenis pohon tertentu yang
berproduksi tinggi secara campuran atau dalam blok-blok yang terdiri
dari klon yang berbeda.
d. Bahan tanaman yang didatangkan dari tempat lain sebaiknya dalam bentuk benih dan bukan dalam bentuk bibit.
e. Tunggul2 sisa penjarangan dan pemanenan dibongkar atau diberi jamur pelapuk kayu. Dalam penjarangan diutamakan terhadap pohon2 yang sakit.
f. Dalam pemuliaan jenis-jenis pohon, hendaknya dimasukkan program untuk memperoleh keturunan yang tahan terhadap penyakit yang berpotensi merugikan.
g. Penanaman jenis-jenis unggul yang berasal dari berbagai tempat (provenan) perlu dilakukan.
h. Hanya klon atau provenan yang nyata dapat berkembang dengan baik dan tahan terhadap penyakit saja yang dikembangkan dalam pertanaman yang luas.

Masalah yang Berkaitan dengan Kegiatan Perlindungan Hutan
Hutan alam
a. Dalam praktiknya penebangan dengan sistem TPTI tidaklah mudah dilaksanakan tanpa menimpa dan melukai batang-batang pohon yang ada dalam tegakan tinggal. Pengusaha biasanya enggan untuk berlaku hati-hati.
b. Lokasi areal penebangan dan penyaradan umumnya tidak mudah dijangkau oleh para pengawas.
Hutan tanaman
a. Dalam pembangunan HTI belum semua pemegang HPHTI mencoba jenis-jenis lokal serta melakukan percobaan provenan jenis yang dikembangkan. Dengan demikian belum diketahui jenis dan provenan mana yang paling sesuai untuk pertumbuhannya di tiap lokasi, baik dalam kemampuan produksinya maupun dalam ketahanannya terhadap penyakit.
b. Belum semua pemegang HPHTI mencoba jenis-jenis dalam tegakan campuran atau jarak tanam bervariasi.

Faktor-faktor yang Menentukan Perkembangan dan Penyebaran Penyakit
Penyakit dapat berkembang dengan baik bila patogennya ganas, tanamannya rentan dan lingkungannya sesuai. Faktor-faktor ini disebut segitiga penyakit (disease triangle).
a. Patogen
1. Di antara mikroorganisme di alam, hanya sedikit yang bersifat patogen
pada tanaman tertentu.
2. Patogen dapat menghasilkan keturunan yang berbeda sifat virulensinya
dengan induknya. Hanya patogen yang virulen saja yang dapat menyerang
tanaman.
b. Tanaman inang
1. Di antara jenis tanaman terdapat perbedaan dalam kepekaannya terhadap jenis patogen tertentu (ada yang rentan dan ada yang resisten).
2. Di antara individu di dalam jenis tanaman yang sama juga terdapat perbedaan dalam kepekaannya terhadap jenis patogen tertentu.
3. Jumlah stomata per satuan luas daun, jumlah lentisel per satuan luas kulit batang, kemampuan tanaman memproduksi substansi tertentu untuk mencegah patogen, kecepatan memproduksi substansi tersebut, ketebalan kutikula berpengaruh thd. kepekaan tanaman.
4. Kepekaan tanaman berbeda menurut perkembangan umurnya. Ada 4 kemungkinan terjadinya penyakit pada suatu jenis tanaman:
a) sewaktu muda resisten tetapi setelah tua rentan,
b) sewaktu muda rentan tetapi setelah tua resisten,
c) sewaktu muda dan tua resisten tetapi rentan pada umur pertengahan,
d) sewaktu muda dan tua rentan tetapi resisten pada umur pertengahan.
c. Lingkungan
Faktor lingkungan abiotik dan biotik dapat berpengaruh thd perkembangan penyakit.
1. Pengaruh lingkungan abiotik. Contoh: pembentukan spora oleh jamur dipengaruhi oleh faktor cuaca (kelembapan udara, suhu dan cahaya); penyebaran spora jamur dan bakteri dipengaruhi oleh tiupan angin, tetesan air hujan atau serangga.
2. Faktor cuaca dalam jangka panjang (iklim) berpengaruh terhadap terlepasnya spora ke udara dari tubuh buahnya menurut perubahan cuaca dari waktu ke waktu.
3. Pengaruh lingkungan biotik. Contoh: kehadiran mikroorganisme antagonis di tanah dapat mencegah serangan penyakit akar. Jamur mikoriza mencegah akar dari serangan patogen akar. Beberapa jenis serangga dan nematoda menjadi vektor virus dan jamur.
4. Lingkungan abiotik juga berpengaruh terhadap kepekaan tanaman. Ketahanan dan kerentanan tanaman terhadap serangan patogen bukan merupakan suatu hal yang tetap, melainkan dapat berubah sebagai akibat dari pengaruh faktor lingkungan. Contoh: pemberian pupuk nitrogen (N) yang terlalu sering menyebabkan tanaman menjadi lemah dan lebih rentan terhadap serangan patogen karena pembentukan zat kayu pada dinding selnya terhambat.

VIII. MIKORIZA
Jamur ialah tumbuhan bersel satu atau banyak, tubuhnya tersusun atas hifa bercabang-cabang, tidak mempunyai klorofil, dapat mengadakan respirasi, asimilasi dan metabolisme, berkembang biak dengan membelah diri dan dengan spora.
Mikoriza (mikes = jamur, rhiza = akar) ialah struktur akar yang terbentuk sedemikian rupa hasil simbiosis mutualistis antara akar dengan jamur.
a. Endomikoriza. Jamur memasuki sel-sel korteks dari akar tumbuhan
(intraselluler) dan tidak menyebabkan pembengkakan sel-sel korteks.
b. Ektomikoriza. Jamur menyelubungi permukaan akar dan masuk di antara
dinding sel korteks (interselluler) dari akar tumbuhan dan membentuk jaring
Hartig (Hartig's net). Akar pendek membesar dan pada akar tumbuhan
tertentu bercabang atau seperti bunga karang.
c. Ektendomikoriza. Gabungan antara kedua kelompok di atas dengan hifa
intra- dan interselluler. Akar ektendomikoriza tidak mengalami
pembengkakan.
Simbiosis mutualistis: hidup bersama yang saling menguntungkan. Jamur memperoleh karbohidrat yang diproduksi oleh tumbuhan dan tumbuhan memperoleh tambahan air dan unsur hara dari jamur.
Fungsi mikoriza dalam ekosistem htn: membantu tumbuhan dalam meningkatkan penyerapan air dan unsur hara dari dalam tanah, shg memacu pertumbuhan tumbuhan serta untuk mencegah serangan patogen akar.
Akar bermikoriza lebih tahan thd kekeringan tnh shg tanaman dpt bertahan hidup karena akar-akarnya masih mampu menyerap air dan hara.
Ektomikoriza membantu melindungi akar tumbuhan dengan cara:
a. Perlindungan secara mekanis karena adanya selubung jamur.
b. Memproduksi antibiotik yang dapat mematikan patogen.
c. Persaingan dalam makanan antara jamur mikoriza dengan patogen.
Permukaan akar bermikoriza menjadi lebih luas daripada permukaan tanpa
mikoriza, karena:
a. Umur akar lebih panjang sehingga memungkinkan utk tumbuh terus.
b. Percabangan lebih banyak.
c. Terbentuknya selubung jamur.
d. Perbesaran diameter akar krn sel-sel korteks dan epidermis membesar.
Masalah mikoriza menjadi penting dalam:
a. Reboisasi lahan kosong atau ilalang, karena pada lahan-lahan tersebut tidak ada jamur mikoriza, atau ada tetapi tidak sesuai bagi tanaman inangnya.
b. Penanaman jenis-jenis eksotik, karena mungkin saja terjadi bahwa jenis-jenis jamur mikoriza yang ada di lahan yang akan ditanami tidak sesuai dengan jenis tanaman yang akan ditanam.
c. Produksi bibit di persemaian, untuk menghasilkan bibit yang sehat yang nantinya akan dipindahkan ke lapangan yang mungkin tidak ada jamur mikorizanya.
Tidak hadirnya jamur mikoriza di lapangan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Lapangan tanam sering mengalami perlakuan, misalnya untuk pertanian, perladangan, peternakan dan perkebunan.
b. Lapangan tanam telah lama tidak ditumbuhi tumbuhan hutan, melainkan telah menjadi padang alang-alang, padang rumput, tanah-tanah gersang atau gundul, sering mengalami erosi dan kebanjiran.
c. Lapangan tanam yang semula berupa hutan tetapi dalam persiapan tanam diperlakukan dengan menebang habis, dibakar atau dikeruk dengan traktor, sehingga memusnahkan jamur mikoriza yang ada di tempat itu.
d. Lapangan tanam yang berupa hutan atau bekas hutan biasanya banyak terdapat jamur mikoriza, tetapi tidak sesuai untuk jenis-jenis yang ditanam.
e. Lapangan tanam yang terbuka menyebabkan suhu udara dan suhu tanah tinggi, sehingga dapat membunuh jamur mikoriza yang telah bersimbiosis dengan akar semai yang telah ada sejak di persemaian. Hal ini terjadi kalau penanaman semai tidak dalam dan tanahnya tidak dipadatkan, sehingga tanah cepat mengering.
Inokulasi jamur mikoriza pada bibit di persemaian dapat dilakukan dengan cara:
a. Penggunaan tanah dari tegakan tua (biasanya sudah bermikoriza).
Kelemahan:
- Jenis jamur mikoriza yang ada di dalam tnh kemungkinan tidak tepat
dan bisa terbawa patogen akar.
- Inokulum (bahan inokulasi) terlalu banyak dengan biaya angkut yang
besar.
b. Penggunaan biakan murni (miselium) jamur mikoriza.
Kelemahan:
- Perlu investasi laboratorium dan alat khusus
- Perlu tenaga terampil.
c. Penggunaan spora jamur mikoriza.
Kelemahan:
- Perlu tubuh buah jamur dalam jumlah banyak dengan jenis yang sama.
- Tidak selalu tumbuh setiap saat, melainkan pada waktu-waktu tertentu
misalnya musim hujan.

d. Penggunaan pohon induk (mother tree).
Kelemahan:
- Proses penularannya sangat lambat.
- Bila kelamaan, akar bibit bisa tumbuh ke luar polybag, sehingga dalam
pemindahannya bisa memutuskan akar dan bibit bisa layu, dari akar
yang luka bisa terinfeksi patogen.

IX. HUTAN ALAM VERSUS HUTAN TANAMAN
Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan kayu dari tahun ke tahun. Dengan pertambahan jumlah penduduk ini juga, areal hutan tropis berkurang sekitar 7 juta ha per tahun.
Kebutuhan kayu di dalam negeri tahun 1984 mencapai 40 juta m3/tahun, sedangkan produksi kayu dari hutan alam hanya 38,4 juta m3/tahun.
Diperkirakan mulai tahun 2000 hutan produksi di Indonesia seluas 64 juta ha itu sudah tidak lagi mampu menutupi kekurangan terhadap kebutuhan kayu yang mana pada tahun 2000 produksi kayu dari hutan alam hanya 60 juta m3/tahun, sedangkan kebutuhan kayu sudah mencapai 80 juta m3/tahun.
Oleh karena itu pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah mutlak perlu dilaksanakan.
Tidak hanya di Indonesia saja yang membangun hutan tanaman, melainkan juga di negara-negara lain di daerah tropis dan subtropis dengan sistem yang sama, yaitu monokultur.
Direncanakan sampai tahun 2000, HTI di Indonesia sudah mencapai luas sekitar 6,2 juta ha, di antaranya termasuk hutan tanaman yang sudah ada seluas 1,8 juta ha, yang terdiri dari tegakan jati (Tectona grandis) dan tusam (Pinus merkusii). Direncanakan pula 10 tahun setelah dimulainya HTI kayunya sudah dapat dipanen dan mulai tahun 2015 diharapkan produksinya sudah dapat mencapai kira-kira 90 juta m3/tahun.
Pada saat ini jenis-jenis pohon cepat tumbuh ditanam dalam skala luas, sedangkan jenis-jenis asli seperti dari famili Dipterocarpaceae ditanam dalam skala kecil. Mereka sebagian besar ditanam dalam bentuk monokultur dan sebagian kecil dalam bentuk campuran.
Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), pemerintah Indonesia telah mulai melaksanakan pembangunan HTI sejak tahun 1984 dengan menanam jenis-jenis pohon cepat tumbuh. Tujuan pembangunan HTI adalah sbb:
a. Menunjang kelestarian penyediaan bahan baku untuk industri dalam negeri.
b. Menunjang peningkatan dan kelestarian kayu olahan untuk memenuhi
kebutuhan ekspor.
c. Mengembalikan lahan-lahan yang tidak atau kurang produktif menjadi lahan-
lahan yang mempunyai produktivitas tinggi.
Penanaman dalam bentuk monokultur baik dengan jenis-jenis asli maupun eksot
menemui beberapa masalah, yaitu:
a. Rentan terhadap penyakit.
b. Kurangnya tenaga yang terampil dan berpengalaman bila dibandingkan dengan luas
hutannya.
c. Tidak semua jenis pohon mampu beradaptasi dengan habitatnya yang baru.
d. Diperlukan adanya sistem silvikultur yang sesuai untuk mengelola tanaman.
e. Diperlukan pengawasan yang ketat untuk mencegah segala gangguan seperti
kebakaran, pencurian dan penyakit.
Penyakit pada tegakan yang terdiri dari banyak jenis timbul hanya bersifat sporadis dan
tidak menimbulkan kerusakan berarti, sebaliknya pada tegakan monokultur, timbulnya
penyakit bersifat epidemi.
Timbul pertanyaan, mengapa hutan alam lebih resisten terhadap gangguan faktor
biotik dan abiotik daripada hutan tanaman. Secara umum, perbedaan kedua tipe
hutan itu dapat digambarkan sebagai berikut:
Keanekaragaman jenis di hutan alam tinggi dengan banyak variasi bentuk kehidupan di dalamnya. Jadi suatu organisme (mis: serangga) tidak hanya tergantung hidupnya dari inangnya, tetapi juga dari organisme lainnya.
Di hutan alam (hutan tropis) terdapat jenis tumbuhan, musuh/lawan, patogen, parasit dan predator secara berlimpah. Suatu jenis tumbuhan menjadi makanan banyak patogen dan parasit. Suatu jenis patogen atau parasit ini menjadi makanan banyak parasit lain dan predator, sedangkan parasit lain dan predator ini merupakan makanan dari banyak parasit atau predator lainnya lagi. Selain itu dapat terjadi perkelahian, baik antar jenis sendiri maupun dengan jenis lain pada parasit atau predator sampai bisa terjadi kematian. Dengan demikian maka tidak terdapat jumlah individu yang berlebihan (epidemi), sehingga tidak terjadi kerusakan hutan seperti di hutan tanaman.