Sabtu, 28 November 2009

PARTISIPASI MASYARAKAT LOKAL DALAM PROGRAM KEGIATAN PENGHIJAUAN

PENDAHULUAN
Pembangunan masyarakat sekitar hutan seringkali dihadapkan dengan permasalahan yang menyangkut lemahnya keterlibatan masyarakat dalam mengelola hutan itu sendiri secara penuh.
Sebenarnya pemerintah telah mengupayakan berbagai cara guna mengatasi masalah tersebut, salah satunya dengan diterbitkannya Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Melalui Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut diharapkan peran serta masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, diharapkan akan diperoleh peningkatan pendapatan, terciptanya kesempatan kerja serta timbulnya ekonomi pedesaan yang berwawasan lingkungan. Namun, hingga saat ini hasil yang diperoleh belum sesuai dengan yang diharapkan.
Salah satu hal yang menghambat keberhasilan kegiatan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) adalah kurang optimalnya peran serta masyarakat desa binaan, di mana mereka kurang dilibatkan secara aktif dalam berbagai aspek kegiatan. Ada dua hal yang selama ini dianggap mendasari hal itu. Pertama, masyarakat cenderung dijadikan objek saja dan kurang terlibat dalam merumuskan rencana serta penyusunan kebijakan. Kedua, dalam penerapan kebijakan, masyarakat hanya sebagai orang yang menerima bukan sebagai pelaku dan pelaksana, sehingga acapkali kebijakan kurang dipahami dan kurang dapat diterima oleh masyarakat. Hal inilah yang memicu lahirnya “partisipasi semu” dengan motif yang beragam (karena upah atau maksud tertentu semata). (Soetrisno, 1995)

LANDASAN ANTOLOGY
Sebagai salah satu sumberdaya alam, hutan telah lama dieksploitasi oleh manusia untuk beberapa kepentingan. Dari kegiatan eksploitasi tersebut secara langsung mempengaruhi ketersediaan sumberdaya hutan itu sendiri, mulai dari berkurangnya kawasan berhutan hingga terciptanya lahan-lahan kritis yang pada akhirnya berdampak negative kepada kehidupan manusia itu sendiri.
Menurut Holmes (2000) dalam Anonim (2001), memasuki abad ke 21 luas hutan tersisa sekitar 98 juta ha dan paling sedikit setengahnya diyakini sudah mengalami degradasi akibat kegiatan manusia. Seiring dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan industrilisasi, maka tekanan terhadap sumberdaya alam menjadi semakin besar, karena tingkat kebutuhan dan kepantingan terhadap sumberdaya alam juga semakin tinggi. Hal ini dapat diketahui betapa pembukaan hutan, kegiatan pertambangan dan kegiatan eksploitasi sumberdaya alam lainnya dari tahun ke tahun bukannya menurun tetapi semakin besar. Dengan demikian kawasan eksploitasi kian terancam habis dan ancaman terhadap kawasan lindung atau kawasan konservasipun terjadi ( Sembiring dkk, 1999).
Kerusakan hutan tidak hanya terjadi pada hutan produksi, tetapi juga pada hutan konservasi dan hutan lindung, kerusakan ini sangat mengkhawatirkan karena akan berdampak pada ketidakseimbangan dan kerusakan ekosistem tatanan Daerah Aliran Sungai (DAS) serta terganggunya kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Apabila hal ini tidak diatasi secara tepat, maka sumberdaya hutan akan bertambah rusak dan kelangsungan pembangunan akan terganggu (Anonim, 2001).
Upaya penanggulangan kerusakan hutan selama ini telah dilaksanakan melalui berbagai bentuk program seperti : pengadaan sarana, prasarana, penyuluhan, reboisasi dan lain lain, yang umumnya dilaksanakan oleh pemerintah dimana dalam pelaksanaannya kurang mengikutsertakan masyarakat secara proporsional, sehingga upaya tersebut belum memberikan hasil sesuai tujuan yang diinginkan. Diduga ketidakberhasilan program tersebut, yang berakibat pada tidak tepatnya sasaran kegiatan, satu diantaranya adalah rendahnya partisipasi masyarakat local baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan maupun evaluasi.

LANDASAN EPISTIMOLOGY
Hubungan hutan dan masyarakat sekitarnya sudah berlangsung lama dan bahkan untuk sekelompok masyarakat tradisional (masyarakat asli) sudah seumur budaya mereka. Hubungan tersebut dimulai sejak kelompok masyarakat tersebut sebagai peramu (Food Gatheres) dan pemburu (Hunters) di hutan. Selanjutnya meskipun peradaban sudah semakin maju. Antara lain seperti perubahan lamin (rumah panjang) menjadi rumah tunggal, sumberdaya hutan tetap menjadi tumpuan hidup mereka. Hubungan hutan dan masayarakat di sekitarnya tetap terjalin sangat erat dan tidak terlepas karena menyangkut kesejahteraan hidup ( Sardjono, 1999).
Aviden-Aviden :
Menurut Kurniyawan (2003), kewajiban peran serta masyarakat dalam bidang kehutanan diatur dalam pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 yang berbunyi : “ Untuk menjamin terlaksananya perlindungan hutan ini dengan sebaik-baiknya maka rakyat diikutsertakan “.
Menurut Tjokroamidjojo (1983) bahwa pembangunan yang meliputi segala segi kehidupan politik, ekonomi dan sosial budaya akan berhasil apabila merupakan kegiatan yang melibatkan partisipasi seluruh rakyat dalam suatu Negara. Oleh karena partisipasi masyarakat merupakan kunci keberhasilan suatu program, maka partisipasi masyarakat dalam program tersebut harus didasarkan pada kesadaran dan keyakinan mereka sendiri bahwa program tersebut bermanfaat bagi mereka.
Menurut Nurjaya (1999), bahwa implementasi model manajemen kehutanan yang berbasis pada masyarakat menuntut perubahan-perubahan, tidak hanya pada tatanan peraturan perundang-undangan, struktur kelembagaan, administrasi dan prosedur, tetapi juga perubahan metode, strategi, teknik-teknik partisipatif termasuk perubahan sikap, prilaku aktor-aktor (stakeholder) yang terlibat dalam manajemen kehutanan.
Menurut Munggoro dan Aliadi (1999), mengemukakan bahwa tantangan kedepan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah bagaimana menghindari krisis dibidang kehutanan, yang disebabkan paradigma kehutanan yang berbasis Negara (State Based Forestry). Paradigma kehutanan lama yang lebih beroreantasi pada State Based Forestry Management yang secara garis besarnya mengandung prinsip-prinsip pendekatan pengelolaan hutan yang berkelanjutan fungsi dan manfaat pelestarian sumberdaya hutan yang beroreantasi pada pengembalian hak-hak dan kewenangan rakyat untuk mengelola hutan.
Premis-premis :
Ketentuan ini hanya mengikutsertakan masyarakat dalam tahap pelaksanaan dari suatu kegiatan di bidang kehutanan, sedangkan dalam tahap perencanan dan penilaiannya masyarakat kurang dilibatkan, terbukti dalam rencana peruntukan dan pengukuhan hutan, Pemerintahlah yang menentukan secara sepihak.
Bahwa partisipasi masyarakat merupakan kunci keberhasilan suatu program, maka harus didasarkan pada kesadaran dan keyakinan mereka sendiri bahwa program tersebut bermanfaat bagi mereka.
Upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap kerusakan lahan dengan melakukan pendekatan program penghijauan yang dinamis dengan mengikutsertakan masyarakat local sebagai pelaksana dalam setiap tahapannya seperti tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi. Karena masyarakat local adalah pihak yang paling dekat dengan masalah pembangunan berkelanjutan dan partisipasi mereka dalam pembangunan adalah sekaligus sebagai subjek dan objek pembangunan.
Dipihak lain unsur-unsur masyarakat local adalah bagian dari keseluruhan masyarakat local, sehingga antar unsur merupakan bagian yang tidak dipisahkan. Oleh karenanya keberpihakan program pembangunan dalam hal ini adalah program kegiatan penghijauan terhadap masyarakat local tidak dapat hanya dilihat secara parsial. Program penghijauan ini harus mampu menumbuhkan dukungan dan sikap kepedulian seluruh unsur masyarakat local, terhadap tujuan akhir dari program, yang dalam hal ini sangat ditentukan oleh partisipasi masyarakat local itu sendiri. Dengan partisipasi masyarakat local dari seluruh unsure masyarakat local dalam program penghijauan akan menumbuhkan pengalaman dan rasa memiliki, yang pada tahap berikutnya akan dapat meningkatkan rasa tanggung-jawab dan kemauan untuk mempertahankan hasil-hasil dari program penghijauan secara dinamis.

LANDASAN AKSIOLOGY
Hipotesis
Ketidakberhasilan program penghijauan disebabkan oleh rendahnya partisipasi masyarakat local yang ditentukan beberapa factor antara lain :
1. fungsi partisipasi yang rendah; masyarakat local tidak terlibat pada tahap “ perencanaan” yang memungkinkan terakomodirnya aspirasi masyarakat local, maupun “pengelolaan” program, namun hanya terlibat pada “distribusi”, “pemeliharaan” dan “pelaksanaan”.
2. intensitas partisipasi yang rendah; dalam program masyarakat local hanya terlibat pada “ informasi” dan “konsultasi”, tanpa terlibat secara aktif pada intensitas partisipasi “pengambilan keputusan”, “inisiatif tindakan”, maupun “ pengendalian total”.
3. sosialisasi program tidak intensif; pada kegiatan penghijauan hanya dilakukan pada saat akan dilaksanakan kegiatan penanaman, dimana sebelumnya hanya diawali dengan pembentukan kelompok tani saja.
Uji Penelitian
Dalam upaya mencapai suatu tujuan kegiatan penghijauan yang ditujukan untuk mengurangi luasan lahan kritis dan meningkatkan produktivitas lahan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan dengan menciptakan suatu kondisi yang positip dari keseluruhan kondisi negative yang telah dikemukakan sebelumnya.
Adapun beberapa hal yang harus dirumuskan antara lain adalah melakukan perubahan model pendekatan perencanaan yang pada awalnya bersifat top down menjadi bootom up, menguatnya pengawasan dan evaluasi multi pihak terhadap pelaksanaan program penghijauan, meningkatnya fungsi dan intensitas partisipasi masyarakat local dalam setiap tahapan kegiatan, sosialisasi yang lebih intensif dan atraktif, keterbukaan masyarakat local.
Apabila hal-hal tersebut dilaksanakan maka akan sangat memungkinkan tercapainya keberhasilan program penghijauan dan dapat menghasilkan kondisi positif seperti : peningkatan jumlah dan vegetasi, berkurangnya lahan kritis, tingkat erosi menjadi rendah, peningkatan kesejahteraan masyarakat semakin meningkat pula.
Upaya alternative pemecahan masalah yang dapat dilakukan antara lain :
a. Merubah pola pendekatan berdasarkan kekuasaan dan sekedar berorientasi pada proyek yang bersifat sesaat, parsial, top down dan terfokus pada target menjadi pendekatan dengan semangat kesetaraan (dalam arti kolaborasi/pola kemitraan) dan berorientasi pada program yang lebih panjang, komprehensif, partisipatif dan menekankan pada proses sehingga menmungkinkan tercitanya kekuatan masyarakat secara nyata dan bukan sekedar ritual semu dimana pada akhirnya masyarakat dapat turut terlibat dalam pembahasan masalah, mencari alternative pemecahan masalah dan membuat keputusan;
b. Pemberdayaan masyarakat yang menyangkut kelompok sasaran yang dinamis perkembangannya, jauh lebih dinamis daripada perkembangan sumberdaya hutan atau lingkungan alam itu sendiri. Adapun kegiatan yang dilakukan harus lebih terfokus pada hal-hal yang pundamental, berjangka panjang dan berdemensi luas serta sesuai dengan potensi lingkungan ekologi dan social ekonomi setempat;
c. Peningkatan kemampuan masyarakat local dapat dilakukan pada beberapa tingkatan yaitu:
1. Tinkat Individu, melalui peningkatan pengetahuan, ketrampilan, kualifikasi, sikap, etika, dan motivasi individu;
2. Tingkat kelembagaan, melalui peningkatan struktur organisasi, keputusan, prosedur dan manajemen kerja, instrument manajemen, hubungan dan jaringan antar organisasi;
3. Tingkat Sistem, melalui peraturan dan kewajiban yang mendukung atau membatasi pencapaian tujuan kebijakan tertentu, perkembangan ekonomi, sosial dan politik.
d. Melibatkan masyarakat lokal secara lebih luas dalam perencanaan, pemeliharaan, manajemen, pengambilan keputusan, melakukan inisiatif tindakan dan pengendalian total;
e. Meningkatkan penyuluhan dan sosialisasi sehingga dapat memberikan pemahaman pada masyarakat lokal akan arti pentingnya program kegiatan penghijauan;
Adapun upaya-upaya pokok dalam pembinaan peran serta atau partisipasi masyarakat local dapat dilakukan dengan cara melakukan studi secara menyeluruh terhadap persepsi masyarakat berkaitan dengan program kegiatan penghijauan menyangkut kuantitas dan kualitas masyarakat yang dapat terlibat didalamnya.
Upaya-upaya tersebut pada akhirnya bermuara pada tercapainya hasil akhir berupa :
a. Diperolehnya gambaran mengenai keseluruhan pranata dan kelompok masyarakat yang dimungkinkan ikut berperan atau terpengaruh oleh dampak pembangunan di daerah tersebut;
b. Diketahui kepentingan-kepentingan dari pihak-pihak tersebut sehingga dapat dirumuskan dalam prioritas-prioritas pembangunan;
c. Diketahui kekhawatiran dan konflik yang mungkin terjadi berikut potensi dan kelemahan yang dimiliki oleh setiap kelompok;
d. Diketahui berbagai konsekuensi dan implikasi yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan, sehingga memudahkan pengambilan langkah yang harus ditempuh.

KREATIFITAS ILMU
Program kegiatan penghijauan sangat bergantung pada partisiapsi masyarakat lokal sebagai perilaku yang berhubungan langsung dengan kawasan hutan itu sendiri, upaya alternatif pemecahan masalah tersebut dapat dilakukan dengan bebarapa cara antara lain :
(1) Merubah pola pendekatan kegiatan;
(2) Pemberdayaan Masyarakat lokal secara utuh;
(3) Peningkatan kemampuan masyarakat lokal;
(4) Melibatkan masyarakat lokal dalam keseluruhan tahapan kegiatan;
(5) Meningkatkan penyuluhan dan sosialisasi.







































Gambar : Pola Penghijauan hutan yang melibatkan partisipasi masyarakat lokal




DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2001. Pedoman Umum Pengelolaan DAK-DR Tahun 2001. Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Bappenas.

Anonim. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Forest Watch Indonesia dan Washington DC. Global Forest Watch. Bogor. 117 h.

Kurniyawan, A.H. 2003. Model Pengelolaan Hutan Mangrove dan Pesisir Secara Partisipatif. Balai Penelitian Kehutanan Samarinda. Samarinda

Munggoro D. W dan Aliadi S. 1999. Community Forestry dalam Kontek Perubahan Institusi Kehutanan, dalam Kembalikan Hutan Kepada Rakyat. Latin 1999.

Nurjaya, I. N. 1999. Menuju Pengelolaan Sumberdaya Hutan yang Beroriantasi Pola Kooperatif Legal Formal. Kerjasama Fakultas Kehutanan UGM dengan Perum Perhutani.

Sardjono, M. A. 1998. Interdepedensi Sosial-Ekonomi Masyarakat Dengan Pembangunan Kehutanan dan Tekanannya Terhadap Sumberdaya Hutan di Kaltim. Laporan Penelitian. Kerjasama Penelitian Antara Balai Penelitian Kehutanan dan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. 166 h.

Soetrisno, L. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Kanisius, Jakarta.

Tjokroamidjojo, B. 1983. Pengantar Administrasi Pembangunan. LP3EF. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar