KOMPONEN HUTAN DAN
PROSES-PROSE DALAM PENGELOLAAN HUTAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhqn Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat, hidayah dan karunia-Nya, Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi besar Muhammad SAW. sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Resume mata kuliah Silvikultur dengan judul “Komponen Hutan dan Proses-Proses dalam Pengelolaan Hutan” Tugas ini dibuat guna memenuhi persyaratan dalam mata kuliah teresbut yang merupakan salah satu mata kuliah Anvulen pada Program Pasca Sarjana Ilmu Kehutanan.
Pada materi ini mahasiswa diharapkan memahami secara umum bagaimana Keterkaitan antara komponen-komponen hutan serta proses-proses dalam pengelolaan hutan secara keseluruhan.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang mendalami hala-hal yang berhubungan dengan materi ini, kurang dan lebihnya diucapkan terima kasih
Samarinda, 2 September 2006
Penulis
KOMPONEN HUTAN DAN PROSES-PROSES DALAM PENGELOLAAN HUTAN
1. Inventarsisasi dan Perencanaan
a. Inventasrisasi
Inventarisasi dalam pengertian komersil sering kali berarti penyiapan daftar yang menggambarkan secara terperinci tentang barang baik nomor, jumlah serta nilai dari barang-barang tersebut. Inventarisasi juga diartikan sebagai suatu pengeterapan metode ilmiah dalam memperoleh data mengenai kekayaan hutan sebagai bahan dasar dalam penyusunan perencanaan hutan, yang dimaksud dengan metode ilmiah adalah cara menggunakan logika dan obyektifitas dalam menentukan suatu fakta yang disertai pengujian.
Inventarisasi kekayaan hutan sangat diperlukan dalam proses pengelolaan hutan, inventarisasi hutan tidak terbatas pada informasi persediaan (stock) produk tetapi meliputi riap dari tegakan, komposisi jenis pohon, distribusi ukuran serta kualitas yang kesemuanya akan merupakan prinsip dari manajemen hutan dengan dasar kelestarian serta efektivitas ekonomi yang maksimum.
Tujuan inventarisasi adalah mendapatkan data tentang areal yang berhutan dan massa serta komposisi tegakannya, elemen dasar inventrasisasi antara lain : gambar tentang areal yang berhutan termasuk status pemilikannya serta asesibilitasnya, taksiran dari potensi tegakan misalnya volume tegakan, taksiran besarnya pertambahan pertumbuhan, serta taksiran besarnaya penebangan dan kematian atau kerusakan tegakan. Tujuan lain inventarisasi hutan adalah menyediakan informasi untuk tujuan penelitian atau penjualan tegakan hutan, sebagai bahan dalam usaha mendapatkan pinjaman bagi pemilik hutan, untuk penyiapan penyusunan rencana eksploitasi.
b. Perencanaan
Perencanaan merupakan unsur manajemen yang sangat penting dalam pengelolaan hutan. Perencanaan merupakan penggambaran dari rangakain keputusan terhadap sumber daya dalam kerangka pilihan yang mungkin bagi suatu kegiatan. Perencanaan melipuiti tiga kegiatan penting yang salin berhubungan satu sama lain yaitu : pengumpulan data atau informasi, pengujian terhadap suatu kriteria dari berbagai kegiatan yang mungkin serta perumusan perencanaan.
Perencanaan harus merupakan kegiatan yang bersifat terus menerus, sedang rencana itu sendiri merupakan bagian rangkaian kegiatan yang saling berhubungan satu sama lain.
Fungsi perencanaan hutan antara lain
1. Tujuan pengelolaan haruslah secara jelas diuraikan dalam perencanaan
2. Hasil inventarisasi sumberdaya hutan (risalah potensi) yang meliputi unsur-unsur fisik biologi dan sosiologi ekonomi
3. Khusus untuk hutan produksi, perencanaan harus memuat pengaturan/ pemanenan serta bagan pemungutan
4. Lampiran-lampiran berupa peta peta, keadaan potensi serta organisasi-organisasi pelaksanaannya.
Jenis perencanaan Hutan
1. Berdasarkan fungis hutan
a. Rencana kerja hutan produksi
b. Rencana kerja hutan lindung
c. Rencana kerja hutan suaka margasatwa
2. Berdasrkan jenis atau bidang pekerjaan
a. Rencana penanaman
Meliputi penentuan luas dan lokasi penanaman, jenis tanaman yang akan ditanam, jarak tanam dan lain sebagainya
b. Rencana pemeiharaan
Meliputi bidang pekerjaan pembebasan tanaman (misalnya, refining, weeding, dan lain sebagainya), pemupukan, penjarangan (thinning) serta pemangkasan (prunning)
c. Rancana pemanenaan
Meliputi penentuan luas dan volume penebangan, pembukaan wilayah hutan serta rencana oprasional pemanenan hasil.
3. Berdasarkan jangka waktu
a. Rencana jangka panjang (long-term planning)
Digambarkan kebijakan pengelolaan jangka panjang berupa keputusan yang didasarkan pada hasil inventarisasi sumberdaya hutan. Jangka waktu rencana jangka panjang beragam, tergantung dari tipe hutan dan intensitas pengelolaannya
b. Rencana jangka menengah
Merupakan agak rencini dari long term planning dalam bentuk kuantita pekerjaan tanpa merinci lokasi dimana akan dilaksanakannya, jangka waktunya 5 tahun dikenal dengan RKL Rencanan Karya Lima tahun
c. Rencanan jangka pendek
Berisikan informasi yang lebih terinci di banding rencana jangka panjang dan menengah, tidak hanya kuantita kegiatan saja tetapi lokasi kegitan yang akan dilaksanakan juga dicantumkan.
d. Pengaturan hasil dan tata hutan
1. Pengaturan hasil berdasarkan luas
keterangan A ; luas areal kerja (ha)
r ; rotasi (daur)
CC ; Siklus Tebang (cutting cycle)
1. Pengaturan hasil berdasarkan volume
a. hanya berdasarkan cadangan tegakan (growing stock) aja
Von montel mengumpamakan besarnya cadangan tegakan adalah berasal dari pertumbuhan yang normal
Keterangan : Y : etat tebang tahunan (volume)
V : besarnya growing stock
r : Rotasi (daur)
b. Hanya berdasarkan riap saja
Metoda Swiss. Dalam metoda ini etat ditentukan berdasarkan riap seluruh tegakan yang ditebang dengan batas diameter tertentu.
Dimana X : volume tegakan diameter dibawah batas limit
Xi: adalah riap tegakan yang bersangkutan
Y : volume tegakan dengan diameter diatas limit
YI: adalah riap tegakan tersebut (Y)
Z : volume tegakan yang melampai masak tebang
Zi : Riap tegakan bersngkutan
c. Berdasarkan kombinasi antara cadangan tegakan dengan riap tegakan.
a. Etat hutan tanaman (jati)
b. Etat hutan alam
Etat massa (Em) = 1/35 x persediaan tegakan diareal produktif untuk jenis komersil x 80%
Etat luas = 1/35 luas areal produktif
Dimana : 35 adalah merupakan jangka waktu siklus tebangan untuk hutan tropis basah.
80% adalah faktor keamanan pengelolaan hutan tropis.
Tata hutan
Dari perhitungan etat perlu adanya rencana alokasi penebangan keseluruh areal huta, pembagian areal hutan kedalam satuan-satuan pengelolaan hutan berupa
a. Satuan kerja
Adalah hutan yang dikelola dengan rencana kera tersendiri berdasarkan prinsip kelestarian
b. Kelompok kerja
Adalah satuan dari organisasi kehutanan yang terdiri dari sekelompok petak atau tegakan hutan yang akan dikelola dengan sistem silvikultur dan rotasi yang sama
c. Blok
Pembagian areal hutan kedalam blok pada umumnya didasarkan pada faktor tofografi. Ukuran blok terletak antara satuan kerja dan petak
d. Petak
Sebagiaman halnya dengan blok, pembagian hutan kedalam petak adalah bersifat tetap, pembagian kedalam petak yang merupakan bagian dari organisasi kehutanan didasarkan pada kegiatan silvikultur tertentu, ukuran pada petak sangat beragam tergantung pada intensitas pengelolaan hutan.
e. Anak petak
Pembagian petak ke dalam anak petak dapat bersifat tetap atau sementara didasarkan pada faktor perbedaan jenis pohon atau perlakuan silvikultur yang diterapkan.
3, Litbang Dikluh
Penelitian dan pengembangan dibidang kehutanan harus disesuaikan dengan Program Utama Nasional Riset dan teknologi dibidang sumberdaya alam dan energi yang diarahkan untuk meneliti usaha pemanfaatan, pemeliharaan dan pengamatan sumberdaya alam dan energi untuk pembangunan nasional. Kegiatan ini meliputi penelitian dan pengembangan teknologi sumberdaya alam hayati, non hayati energi konvensional, serta masalah bencana alam. Dalam hal ini diadakan pula kegiatan eksplorasi, konservasi, diverifikasi dan indikasi masalah energi.
Penelitian dan pengemangan kehutanan di indonesia diatur melalui suatu badan yang disebut, “Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan” yang selanjutnya disingkat dengan sebutan Badan LITBANG. Badan ini secara khusus bergerak dalam bidang penelitian serta pengembangan hutan dan hasil hutan yang kemudian bertanggung jawab langsung kepada menteri.
Ada dua bidang dibawah Badan LITBANG yang bertanggung jawab langsung atas terlaksananya tugas-tugas penelitian yang diemban yakni; Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan; Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan (Pusat LITBANG Hutan )
Wilayah kerja dari pada Pusat LITBANG meliputi subyek yang luas sekali dan secara garis besarnya meliputi kegiatan antara lain.
a. Penelitian Botani Hutan
b. Penelitian Silvikultur
c. Penelitian Nilai Hutan
d. Penelitian Pengaruh Hutan
e. Penelitian Persuteraan Alam
f. Wanariset
2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (Pusat LITBANG Hasil Hutan)
a. Sejarah Perkembangan
Pada tahun 1955 lahir 3 bagian pokok yaitu, Bagian penyelidikan hasil hutan, Bagian pemakai/penyuluhan hutan, bagian penyelidikan sifat-sifat kayu. Pada tahun 1956 mejadi Balai Penyelidikan Hasil Hutan dari Balai Besar Penyelidikan Hutan. Pada tahun 1957 dipecah menjadi Lembaga Penyelidikan Hasil Hutan dari Lembaga Pusat Penyelidikan kehutanan (sebagai perubahan nama Balai Besar Penyelidikan Hutan).
Tahun 1959 dipecah menjadi 3 lembaga yaitu : Lembaga Penyelidikan Hasil Hutan, Lembaga Penyelidikan Teknologi Hasil Hutan dan Lembaga Penyelidikan Kerja Hutan yang masing-masing berdiri sendiri. Pada tahun 1962 masing-masing lembaga tersebut diatas mengalami perubahan nama berturut-turut menjadi, Lemabaga Penelitian Hasil Hutan, Lembaga Penelitian Kimia Hasil Hutan, serta Lembaga Penelitian Daya Guna Tenaga dan Peralatan Hutan.
Tahun 1971 Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Lembaga Penelitian Kimia Hasil Hutan dan Lembaga Penelitian Hasil Eksploitasi Hutan digabungkan menjadi satu lembaga dengan nama Lembaga Penelitian Hasil Hutan yang ditetapkan antara lain : menetapkan fungsi dan susunan bagian-bagian
b. Fungsi
Melaksanakan Penelitian Teknologi (fisik dan kimia), Pemasaran Produksi (Tenaga dan Alat) dilingkungan kehutanan dengan tugas pokok menyelenggarakan penelitian, pengembangan hasil penelitian serta memberikan advis teknis ilmiah mengenai Pembukaan Wilayah Hutan, dan Pengangkutan Hasil Hutan, Biologi Hasil Hutan, Penggunaan Hasil Hutan, Pengolahan Kimia Hasil Hutan pelaksanaan dan tatalaksana Hasil Hutan.
c. Bagian-Bagian
Lembaga Penelitian Hasil Hutan mempunyai bagian-bagian yang melaksanakan penelitian dan satu bagian yang melaksanakan Tata Usaha dan Pelayanan Umum Lemabaga.
4. Perlindungan dan pengamanan
Perlindungan hutan merupakan aspek silvikulur yaitu hal-hal yang berhubungan dengan usaha-usaha perlindungan terhadap hutan dari bermacam-macam penyebab kerusakan. Perlindungan hutan meliputi komponen-komponen hama hutan, penyakit hutan kebakaran hutan, penggembalaan, gannguan manusia dan gangguang-gangguan alam lainnya.
Untuk mengurangi kerusakan hutan perlu lebih dulu diidentifikasi dan dievalusi unsur-unsur perusak hutan serta kaitannya dengan lingkungan dan ekosistem hutan setelah itu barulah dijabarkan metoda pengelolaan hutan yang dapat menerangkan kerugian sampai pada tingkat minimum.
Penyebab kerusakan hutan bisa berasal dari penyebab fisik, penyebab biologis dan penyebab yang berasal dari faktor-faktor sosial. Faktor fisik yang dapat menimbulkan kerusakan serta kerugian pada hutan adalah kebakaran (api), angin, banjir (air), letusan gunung api, petir dan gas beracun
Penyebab biologis (hayati) adalah hewan (ternak dan binatang menyusui lainnya, burung serangga dan lain-lain), tumbuhan gulma fungi (cendawan), bakteri virus serta organisme lainnya.
Faktor sosial merupakan gangguan yang timbul dari masyarakat sekitar hutan yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan, penggembalaan dalam areal hutan, perladangan hutan dan pencurian hasil hutan.
5. Pemanfaatan dan pemanenan
A. Pemanenan hasil hutan kayu
1. Pembukaan wilayah
Sebelum suatu wilayah hutan dipungut hasilnya terlebih dahulu harus disiapkan prasarananya yaitu pembuatan jalan dan jembatan serta bangunan hutan lainnya dengan urutan kegiatan sebagai berikut.
a. Pembuatan trace jalan
Sebelum suatu wilayah hutan dipungut perlu peta tofografi dengan skala minimal 1 : 25.000. mula-mula ditentukan pada peta dimana jalan itu dimulai dan berakhir.
b. Pembuatan jalan
Perlu memperhatikan iklim setempat, rencana pemakaian dan panjang jalan. Syarat yang harus dipenuhi tergantung pada tipe dan kelas jalan yang akan dibuat.
c. Pembuatan jembatan
Faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah beban dan intensitas lalulintas, panjang jembatan, debit dan tinggi rendahnya air sungai, keadaan tanah tempat dasar jembatan, tinggi lantai jembatan dari permukaan air dan letak jembatan.
2. Kemah pangkal (base camp)
Base camp adalah tempat kegiatan pemungutan hasil hutan (eksploitasi) merupakan tempat tinggal karyawan, kantor, tempat peralatan dan kegiatan seosial serta untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya.
3. Inventarisasi tegakan hutan
Rencana karya atau rencana-rencana lain dalam pengelolaan dan pengusahaan hutan perlu diadakan inventarisasi hutan atau timber cruising.
4. Penebangan
Menebang pohon yang sudah memenuhi syarat masak tebang dalam suatu areal hutan
5. Penyaradan
Adalah penarikan dolok menuju ketempat pengumpulan (TPN) dan selanjutnya ketempat penimbunan kayu (TPN)
6. Pemenggalan batang (Bucking)
Hal yang perlu diperhatikan dalam pembagian batang antara lain; (a) syarat yang diminta oleh pasar, (b) policy penjualan kayu, (c) kemungkinan penyaradan dan pengangkutan, (d) adanya industri yang mengerjakan kayu dan (e) pesanan-pesanan.
7. Pengupasan kulit (bucking)
Setelah pembagian batang dilaksanakan, pengupasan kulit harus segera dilakukan. khusus untuk kayu-kayu rimba (bukan jati). Bila pengupasan tidak segera dilaksanakan maka kayu akan mudah diserang oleh serangga dan jamur yang dapat menurunkan kualitas kayu
8. Penimbunan dan pengumpulan
Jenis tempat pengumpulan dan penimbunan antara lain Tempat Pengumpulan Kayu (TPK) tempat pengumpulan kayu diujung jalan sarad, Tempat Penimbunan Kayu (TPK) tempat penimbunan kayu yang diangkut dari TPN dan atau tempat tebangan.
9. Pengangkutan (hauling/transportasion)
Pengangkutan dilakukan setelah penyaradan atau angkutan antara. Angkutan antara adalah dari TPN ke TPK.
10. Muat/Bongkar
Merupakan bagian dari kegiatan pengangkutan, pekerjaan ini harus dikerjakan secepat mungkin, karena lamanya waktu akan mempengaruhi besarnya pengangkutan.
6. Sistem dan Teknik Silvikultur
Sistem silvikultur meliputi tiga gagasan pokok yakni : (1) cara regenerasi dari suatu tegakan yang membentuk hutan, (2) bentuk dari hasil yang akan diproduksi dan (3) susunan teratur dari tegakan hutan ke seluruh, teristimewa terhadap pertimbangan-pertimbangan silvikultur dan penjagaan serta penggunaan ekonomis dari hasilnya.
Pemilihan sistem silvikultur yang akan diterapkan ditentukan oleh beberapa faktor antara lain tujuan pengusahaan hutan, komposisi, struktur hutan dan perlindungan tempat tumbuh agar kelestarian prosuktivitas hutan terjamin, oleh karena itu penebangan dalam pembalakan (logging) adalah semata-mata merupakan alat untuk melaksanakan sistem silvikultur dalam rangka tujuan perusahaan
A. Sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI)
1. Digunakan rotasi tebang 35 tahun untuk pohon-pohon dari jenis-jenis kayu berharga, memiliki diameter diatas 50 cm yang diukur tepat 130 cm dari tanah (setinggi dada). Pohon dibawah diameter 50 cm dilarang ditebang selain karena merugikan pertumbuhan juga menimbulkan kerugian produktivitas hutan. Kecuali, disuatu bagian hutan yang keadaan tempat tumbuhnya tidak ditemukan persediaan kayu-kayu berdiamter 50 cm ke atas. Ukuran standar diameter dapat diturunkan menjadi 30 cm, tetapi rotasi berikutnya bertambah dari 35 tahun menjadi 55 tahun. Perubahan itu juga pada volume pohon inti untuk tegakan dari 25 cm menjadi 40 batang per hektar.
2. Ditunjuk pohon-pohon inti yang akan dibentuk tegakan utama pada rotasi tebangan berikutnya. Penunjukan yang diberi tanda (cat kuning) ditetapkan 25 batang pohon setiap hektar yang rata-rata berdiameter 35 ketas. Khusus, untuk pohon-pohon jenis penunjukan ini berlaku.
3. Pohon-pohon yang akan ditebang diberi tanda secara jelas meliputi nomor pohon dan arah rebahnya pohon. Kegunaannya untuk menyelamatkan pohon-pohon muda dari penebangan yang kurang hati-hati. Sehingga, menimbulkan kerusakan tegakan. Tanda nomor poho diletakkan setinggi 20 cm dari bawah, sedangkan arah tebang ditulis melintang sepanjang 20 cm dengan 3 cm di batang pohon yang akan ditebang.
4. Persemaian sudah harus disiapkan sebelum penebangan dimulai. Pengadaan bibit untuk disemaikan dapat berupa biji yang telah diseleksi maupun benih permudaan yang dikumpulkan dari hutan sendiri, luas persemaian harus disesuaikan dengan perimbangan luas kesatuan oprasional penebangan.
5. Untuk mengatasi kerusakan hutan akibat penebangan, maka ditentukan adanya tempat pengumpulan kayu sesuai luas areal tebangan dengan ukuran minimal jari-jari 30 m dan maksimal 40 m
6. Penyaradan kayu hasil penebangan harus dihindari timbulnya kerusakan pohon-pohon muda terutama pohon inti. Sedangkan, apabila digunakan traktor dalam penyaradan itu, harus disiapkan jalan angkutan kayu (jalan sarad), penyediaan jalan sarad ini juga memudahkan untuk ditentukan arah tebang atau jatuhnya pohon yang serah dengan jalan traktor yang akan dilalui penyaradan. Dalam kondisi hujan lokal, penyaradan tidak boleh dilakukan berulang kali mengingat kondisi tanah dan tingkat kemampuan jalan sarad.
7. Pengangkutan kayu dengan sistem penggunaan kabel spartree harus digunakan parit dan jurang sebagai jalan kabel utama. Jarak penyaradan untuk sistem ini hanya diizinkan antara 250-300 m. Sededangkan, jalankan kabel jumlahnya tidak boleh lebih dari 12 jalur. Untuk kelancaran pekerjaan, bila perlu digunakan pohon-pohon penahan selain pohon inti. Sebaliknya, jika ada pohon tebangan yang terhalang rebah ketanah, tidak boleh digunakan alat berat yang lebih besar untuk merebahkan pohon yang tersangkut itu.
8. Setelah dilakukan penebangan, setip petak harus di inventarisasi khususnya untuk mendata pohon-pohon inti dan pohon jenis komersil lainnya, yang berdiameter kurang dari standar penebangan. Untuk pohon inti harus diinventarisasi secara keseluruhan, sedangkan untuk jenis lain dapat dilakukan dengan cara sampling.
9. Pembebasan tumbuhan pengganggu, harus dilaksanakan untuk melindungi dan membantu pertumbuhan pohon-pohon muda. Untuk itu dilakukan dengan cara menata akar yang saling bersaing, ruang tumbuh dan pencahanyaan sinar matahari. Jenis tumbuhan pengganggu perlu dipotong ditebas atau diracun. Namaun, tumbuhan yang berfungsi sebagai pentup lapisan tanah dan pelindung pohon jenis komersil harus tetap tumbuh untuk menambah persediaan kayu bakar.
10. Bekas areal penebangan harus dibersihkan untuk selanjutnya dilakukan penyulaman yang bibitnya diambil dari persemaian. Terutama, dilakukan penyulaman pada tanah terbuka, bekas jalan sarad dan tempat pengumpulan kayu. Disamping itu, penyulaman diharuskan pula pada areal hutan yang memiliki daya semai dan daya pancang untuk jenis pohon komersil
11. Melakukan pencegahan erosi akibat pembuatan parit jalan kabel dan bekas jalan traktor melalui pembuatan tunggal yang bergaris horizontal (melintang)
12. Setiap petak atau blok tebangan yang telah selesai pohonnya ditebang, tidak diizinkan lagi untuk melakukan penebangan ulang.
13. Untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan perladangan liar, penggembalaan ternak dihutan dan menghindari terjadinya kebakaran hutan, maka setiap kesatuan pemangkuan hutan atau areal HPH wajib mempekerjakan tenaga pengawas. Ditentukan bahwa untuk setiap pengawas atau penjaga hutan maksimal 5000 ha dengan kelipatan keatas. Artinya jika luasnya 10 ribu ha berarti harus ada minimal 2 orang tenaga penjaga hutan dan seterusnya.
14. Setelah berjalan 5 tahun selesainya penebangan, dilokasi bekas yang ditinggalkan harus dilakukan penyulaman ulang, pembebasan tanaman pengganggu, bahkan bila dianggap perlu dapat dilakukan penjarangan pohon.
B. Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI-1989)
Pedoman silvikultur berlaku sebagai aturan teknis yang dilaksanakan sejak tahun 1972, tetap masih dilanjutkan kemudian muncul sistem silvikultur baru dan hampir serupa yaitu didalam Kepmen Kehutanan RI Nomor 564 tahun 1989 tentang pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia.
Kecuali untuk hutan payau, maka sistem TPTI dinilai tepat diguanakan untuk hutan alam produksi di indonesia. Tujuan TPTI meliptuti; pengaturan pemanfaatan hutan produksi, peningkatan nilai kualitas dan kauntitas hutan bekas tebangan untuk rotasi berikutnya, dan untuk membentuk hutan tegakan campuran yang dapat menghasilkan kayu penghara industri secara berkelanjutan.
Sasaran TPTI diarahkan pada: pengaturan komposisi jenis pohon dihutan yang lebih menguntungkan baik dari segi ekonomis, pengaturan struktur kerapatan tegakan optimal pohon guna peningkatan potensi produksi kayu bulat, terjamin fungsi hutan dalam rangka pengawetan tanah dan air, serta terjamin fungsi perlindungan hutan
Ketentuan penataan areal kerja diatur untuk menyusun perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan kegiatan pengusahaan hutan pada blok kerja. Pemasangan tapal batas blok dan petak kerja hasil pengukuran digambar diatas peta. Sedangkan penataan areal kerja pada blok kerja tahuan dilaksanakan setiap 3 tahun sebelum dilakukan penebangan. Blok kerja dibagi menjadi petak kerja dan tiap-tiap petak luasnya sekitar 100 hektar.
Inventarisasi tegakan sebelum penebangan, bertujuan agar diketahui jumlah pohon inti, pohon yang dilindungi, dan potensi pohon yang akan ditebang. Pelaksanaannya dapat ditentukan calon pohon yang akan dipelihara samapai saat penebangan berikutnya. Dapat pula ditentukan jatah produksi tebangan tahunan pada blok kerja masing-masing pengusahaan intensitas 100% dilakukan dalam kegiatan inventarisasi ini. Pelaksanaan dilakukan dua tahun sebelum penebangan dilakukan (ET-2) dan hasilnya ditetapkan dalam skala 1: 2.000.
Untuk kepastian penebangan, setiap pohon harus diberi tanda silang bercat merah pada tinggi pohon 1,30 m dari tanah yang dicatat pada buku laporan. Sedangkan untuk pohon inti dan pohon yang dilindungi diberi tanda bercat kuning melingkari pohon pada ketinggian 1,30 m. setiap jenis dan diameter batang pohon inti dan pohon dilindungi, harus dicatat dalam buku laporan, sedikitnya ada 25 pohon per ha yang berdiameter 20 cm keatas dengan penyebaran yang merata. Sedangkan, untuk pohon yang akan ditebang inventarisasinya meliputi: nama jenis, diameter batang, tinggi batang yang bebas, dan tinggi banir.
Kegiatan PWH merupakan kegiatan untuk penyediaan sarana bagi produksi kayu dan kepentingan pembinaan hutan. Kegiatan antara lain, meliputi; pengukuran pemetaan, pembuatan dan pemeliharaan jalan angkutan dan jembatan. Urutan kegiatan diatur melalui jalur mencari dan menetapkan titik ikat, menyusun rencana blok kerja tahunan dan blok kerja lima tahuan, melakukan pengukran secara defenitif, diareal wilayah pembukaan hutan (PWH).
C. Sistem Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI)
Diperkenalkan pada tahun 1993 sebagai tingkat lanjut pelaksanaan sistem TPTI dalam berbagai pertimbangan pentingnya sistim TJTI diterapkan dikemukakan beberapa hal antara lain:
1. Berdasarkan hasil evaluasi, perkembangan dan kondisi hutan alam yang ada selain pengawasannya dirasakan sulit, juga ternyata sistem silvikultur TPTI murni belum dapat diterapkan sesaui dengan ketentuan pada beberapa kondisi dan tipe hutan (hutan rawa, hutan gambut dan tegakan khusus) misalnya kondisi tegakan hutan di NTB
2. Keberhasilan pelaksanaan TPTI belum dapat dibuktikan kepada dunia internasional, sementara penilaian terhadap HPH selama ini dianggap cuma mampu melaksanakan penebangan Metode pelaksanaan TJTI diklasifikasikan kedal 2 bagian yakni : tebang jalur diikuti penanaman, dan tebang jalur diikuti dengan permudaan.
Urutan pelaksanaan dalam pola tebang jalur dan penaman dilakukan sebagai berikut:
1. Pembagian bagan petak coba, dengan luas petak coba masing-masing seluas 100 hektar atau 1000 z 1000 m. jarak dan latak antara subpetak disesuaikan kondisi tofografi atau keadaan lapangan yang diatur baik secara tetap maupun secara acak. Setiap subpetak coba dibagi menjadi beberapa jalur dengan kombinsai aturan, ada jalur yang pohonnya ditebang dan sebagian jalur pohonnya tidak ditebang. Artinya letak jalur yang ditebang dengan jalur yang tidak ditebang harus terdapat persilangan. Misalnya lebar jalur yang ditebang 50 m dan tidak ditebang 50 m. sebaliknya terdapat jalur ditebang 50 m namun jalur yang tidak ditebang jaraknya 200 m
2. Inventarisasi sebelum penebangan, agar diketahui potensi tegakan, permudaan alam jenis komersial bernilai tinggi, jumlah jenis pohon yang dilindungi dengan cara : pencegahan lengkap kecuali untuk permudaan digunakan metode LRS (Linier Regeneration Sampling)
3. Penebangan dilakukan pada pohon yang telah diberi tanda silang (x) dan dilakukan pada jalur tebang yang ditetapkan sebelumnya. Pohon tebengan berdiameter minimal 20 cm sampai ukuran diameter pohon yang lebih besar.
4. Penyaradaan kayu, ditetapkan hanya satu tipe untuk setiap subpetak tebangan baik dengan penggunaan hewan, traktor atau skyline
5. ITT. Dilakukan setelah masa 1 tahun berjalan selesainya penebangan , agar siketahui luas lahan terbuka, kerusakan pohon dilindungi, akibat penyaradan, pembuatan jalan dan pembalakan. Pelaksanaan inventarisasi dilakukan secara lengkap
6. Penanaman bibit harus berasal dari persemaian (biji cabutan, stek pucuk) dan berkualitas baik. Pada larikan tanaman searah dengan jalur tebang dengan pembersihan tiap larikan selebar 1 meter. Disamping itu jarak antara sumbu larikan dan lainnya yaitu 5 meter sehingga jarak tanamnya 5 x 5 m. waktu penanaman dilakukan di awal musim hujan terhitung satu tahun setelah dilakukan penebangan
7. Penyulaman tanaman, dilakukan 2-3 bulan setelah penanaman. Dan sebelum penyulaman pertama dimulai, maka tanaman yang mati harus dicacah lebih awal. Pencacahan tanaman mati pada tahun pertama dan tahun kedua dilaksanakan pada musim hujan. Sedangkan pada tahun ketiga penyulaman tanaman mati tidak perlu dilakukan.
8. Pemeliharaan tanaman meliputi kegitan; penyiangan, pendangiran, pembebasan tanaman dari tumbuhan pengganggu (liana), dan pembukaan tajuk. Subpetak uji coba seluas 500 ha terbagi kedalam dua bagian A dan B yang berukuran sama yaitu 500 x 1000 m. jangka waktu untuk pemeliharaan sub petak A , dilakuakn 4 kali dalam setahun atau 8 kali selama 2 tahun, selanjutnya sekali dalam 6 bulan hingga tanaman berumur 5 tahun.
Urutan pelaksanaan dengan sistem tebang jalur dan permudaan diuraikan sebagai berikut
1. Pembuatan petak coba 500 ha dibagi menjadi 5 subpetak masing-masing seluas 100 ha (1000 x 1000 m). letak dan jarak subpetak tergantung keadaan dilapangan sehingga dapat diatur menurut jarak tertentu atau secara acak. Kombinasi jalur setiap petak mempunyai kombinasi persilangan (berselang-seling). Contohnya, lebar jalur yang ditebang 50 m dalam lebar jalur yang ditinggalkan atau tidak ditebang, mencapai 100 m dan sebaliknya.
2. Iinventarisasi tegakan sebelum tebangan, agar diketahui potensi tegakan, jenis dan jumlah pohon yang dilindungi, potensi permudaan jenis komersial, dan penandaan pohon yang ditebang. Inventarisasi tegakan dilakukan dengan penarikan contoh menurut metoda LRS,
3. Penebangan, pohon yang ditebang telah diberi tanda (x) dan dilakukan pada jalur-jalur tebang yang dimulai dari pohon berukuran diameter 20 cm sampai pohon yang berdiameter lebih besar.
4. Penyaradan, dilakukan satu tipe mulai penggunaan traktor, hewan atau skyline.
5. ITT, dilakukan satu tahun setelah penebangan dengan mencegah lengkap kerusakan jenis pohon yang dilindungi dan kerusakan permudaan alam jenis komersial, metoda yang digunakan dalam penarikan sampling menurut sistem LRS.
6. Pemeliharaan permudaan, meliputi cara; penyiangan, pembebasan liana dan pembukaan tajuk, untuk tingkat seedling, pemeliharaannya berupa penyiangan dan pembebasan ari liana. Untuk tingkat sampling dan seterusnya dilakukan pembebasan dari liana, dan pembukaan tajuk secara bertahap, setiap subpetak coba dibagi menjadi dua bagian masing-masing menjadi 250 ha, sebagai tujuan subpetak C dan D dalam ukuran luas yang sama. Pemeliharaan untuk subpetak C dilakuakan 4 kali dalam tahun pertama melalui kegiatan penyiangan dan pembebasan dari liana, diteruskan sampai pada tahun ke dua. Kemudian ditahun ke-3 dan ke-5 sesudah penebangan, dilanjutkan dengan melakukan pembebasan tajuk. Tindakan serupa dilakukan kembali pada tahun ke-8 dan tahun ke-15 umur pohon yang ditanam. Sedangkan pemeiliharaan untuk subpetak D dilakukan 6 bulan sekali pada tahun pertama, kemudian pada tahun ke-3 dan ke-5 dilakukan pembebasan tajuk. Tindakan serupa diulang lagi pada tahun ke-8 dan ke-15 umur tanaman.
D. Sistem Tebang Habis Permudaan Buatan
1. Seluruh jenis yang ditebang adalah jenis pohon komersial sesuai ketentuan diameter penebangan. Ketentauan tebang habis ini harus mendapat persetujuan tertulis pejabat yang berwenang. Sementara, untuk penebangan diareal kerja HPH baru dilaksanakan setelah Rencanan Kerja Tahunannya dinyatakan telah disetujui instansi kehutanan.
2. Cara-cara penebangan harus mengikuti petunjuk teknis TPI dengan mengindahkan keselamatan kerja terutama di dalam penggunaan alat-alat mekanis (alat berat). Semua alat mekanis sebenarnya dapat diapakai untuk penyaradan sepanjang tidak merusak kondisi tanah hutan, tegakan pohon dan tegakan pohon dan keselamatan jiwa pekerja. Karena itu, jalan sarad tidak boleh dibuat simpang siur, tetapi harus mengikuti jaringan tertentu yang sudah disetujui perencanaannya.
3. Jaringan jalan angkutan harus jelas diatas peta kerja berikut rencana penebangan yang telah disahkan kehutanan. Apabila pengangkutan melewati areal hutan lindung. Harus dicegah atau ditekan sejauh mungkin adanya tingkat kerusakan hutan yang ditimbulkan.
4. Persemaian harus disiapkan sebelum penebangan dimulai. Luas dan jarak tanam adalah 3 x 3 m. dengan muatan bibit 1.100 pohon untuk setiap hektar bibit pohon unggul dari jenis kayu bahan baku industri misalnya agathis, albazia, shorea Tectona grandis, dan yang sesuai. Sedangkan cara-cara penanaman yang digunakan tergantung pada kedaan setempat. Dapat dipilih atau ditentukan cara tumpang sari, tanam jalur atau cemplongan. Selanjutnya pada keadaan tanah yang kritis dilakukan dengan pupuk hijau dengan tanaman tumpangsari. Adapun tanaman campuran dapat dilakukan untuk proses humunifikasi, karena bibit kurang atau untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan.
5. Tanaman pemeliharaan dianggap berhasil apabila setelah diinventarisasi diperoleh 40% tumbuh pada waktu tanaman berumur 3 tahun disetiap sampel plot. Karena itu pemeliharaan dan penyulaman dilakukan sampai tanaman berumur 2 tahun dan diikuti penjarangan dan penyiangan tumbuhan liar. Dalam penyulaman harus digunakan bibit yang umur serta jenisnya sama dengan bibit asal. Sementara,pada frekuensi tertentu antara 5-10 tahun penjarangan dilakukan atau dua per tiga dari masa daur penebangan dengan persentase rasional antara 20-30% nilai tegakan.
6. Produksi antara yang dihasilkan dari penjarangan dianggap sebagai produksi tegakan sedangkan perlakuan lain seperti pemangkasan dilakukan untuk keperluan tertentu.
7. Bekas-bekas tebangan perlu dijaga dari tindakan perladangan, penyerobatan tanah, bidang-bidang tanaman yang perlu dijaga dari sedangan hama dan penyakit pohon. Untuk itu setiap luas 50 ha harus ada seorang pengawas dan pengamat pohon yang akan melewati jalan pemeriksaan sepanjang 100 meter untuk setiap luas areal 2 ha tanaman. Kemudian, limbah bekas tebangan harus dijaga dan diperkecil tumpukaannya untuk menghindari kebakaran hutan dengan jarak antara tiap tumpukan adalah 20 meter, selain itu pentingnya dibangun menara-menara pengawas terhaap keamanan hutan yaitu 1 unit :1000 ha tanaman.
8. Pengawasan dan sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran aturan teknis silvikultur THP ini, antara lain didasarkan penilaian karena ketidak mampun pengelola memenuhi aturan teknis silvikultur THP, jenis-jenis sanksi itu berupa; peringatan, denda penurunan jatah tebangan, kewajiban untuk melakukan ganti rugi dan atau penjabutan HPH kepada setiap jenis tindakan pelanggaran yang terjadi.
7. Konservasi Sumberdaya Hutan
Sumberdaya alam yang pada dasarnya terdiri dari unsur-unsur hayati dan non hayati saling berinteraksi serta saling pengaruh mempengaruhi, demikian juga diantara unsur hayati sendiri maka terbentuklah tipe-tipe ekosistem mulai dari dasar laut sampai kepegunungan tinggi
Konservasi sumberdaya alam mengandung tiga aspek utana antara lain (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) pemeliharaan dan pengawetan keanekaragamaan jenis tumbuhan dan satwa serta eksistensinya pada mata darat, air dan udara. (3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam dan ekosistemnya.
Konservasi mempunyai aspek-aspek perlindungan, Pengawetan dan Pencadangan serta Pelestarian. Dengan demikian maka usaha konservasi meliputi penyelamatan, pemeliharaan, pemulihan dan rehabilitasi.
Konservasi mempunyai sasaran menjamin eksistensi, keserasian dan potensi sumberdaya alam dari kemungkinan bahaya yang merusaknya (erosi, polusi serta penurunan kualitas) yang meliputi antarta lain ;
1. Perlindungan terhadap proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan yang meliputi wilayah perlindungan; kawasan hutan lindung, kawasan pantai (hutan payau dan hutan pantai), mata air, aliran sungai, taman nasional dan lain-lainnya
2. Pengawetan plasma nutfah bertujuan untuk melindungi berbagai jenis ragam hayati yang akan berguna bagi pengembangan ilmu dan teknologi, penangkaran, pemuliaan serta pembudidayaan.
3. Pelestarian pemanfaatan untuk memebuhi kebutuhan dan kesejahtraan manusia baik secara langsung maupun melalui usaha budidaya.
8. Perindustrian Hasil Hutaan
Merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan nilai hasil hutan, menaikan rentabilitas hutan, membantu memecahkan masalah penyediaan lapangan kerja (penyerapan tenaga kerja) dan merupakan usaha yang secara nyata ikut menunjang usaha pengalohan ekspor dolok (log) menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.
Industri hasil hutan yang berupa kayu dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu industri kayu primer dan industri kayu sekunder. Dalam perkembangan industri muncullah istilah/pengertian industri terpadu.
Industri kayu primer meliputi penggergajian, finir dan plywood, fibre board, particle board, pulp dan kertas, golongan industri ini pada umumnya menghasilkan barang setengah jadi. Industri kayu terpadu adalah tujuan akhir dalam rangka memaksimumkan hasil guna (efisiensi) pemakaian kayu. Semua bagian dari kayu diusahakan dimanfaatkan. Industri yang dapat dipindahkan (diintegrasikan) meliputi penggergajian, chips, wood based panels, pulp dan kertas, pengeringan dan pengawetan. Dengan kata lain industri terpada adalah di mana berbagai jenis indutri dengan tingkat investasi dan teknologi yang berbeda dapat berkembang dalam waktu yang kurang lebih bersamaan.
9. Pemasaran hasil hutan
Kegiatan pemasaran merupakan suatu kegiatan yang sangat penting, karena merupakan salah satu fungsi dari manajeman keberhasilan suatu industri dibidang kehutanan sangat ditentukan pada pemasarannya, hasil industri yang berupa bahan jadi pada akhirnya akan didistribusi kepada konsumen melalui mekanisme pasar.
Pemasaran merupakan salah satu komponen proses dalam pengelolaan hutan sehingga memerluakan penangan khusus agar siklus dalam pengelolaan hutan bisa berjalan secara kontinu, dengan demikan perlu kiranya memahami aspek-aspek yang berhubungan dengan permintaan hasil hutan. Prisnsip-prinsip dalam pemasaran hendaknya menjadi perhatian yang khusus guna mencapai tujuan dari pemasaran itu sendiri.
Selasa, 01 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar